Pendidikan: Suatu Negasi Kebebalan | Verstehn #6

Oleh: Pedi Ahmad

JIKA KITA BERTEMU dengan seekor ular Cobra berbisa, kita tidak berkata, “tolong katakan bagaimana caranya lari dari ular itu.” Kita langsung lari, menghidar dari bahaya gigitan ular itu, tak berpikir apa-apa terlebih dulu, bukan?

Kepintaran kita tidak pernah kita ketahui batas maksimalnya, tapi terkadang kepintaran itu kita batasi. Apakah kalian pernah menyadari itu? Atau kita dipaksa untuk tidak membiasakan berpikir? Saya jadi bertanya pada diri sendiri, jangan-jangan sayapun sama seperti kalian, hanya sedang berpura-pura berpikir, berpura-pura membaca, tidak pernah memikirkan apa yang mesti saya pikirkan.

Setiap hari kita melihat banyak kelaparan, gelandangan, pencurian, kejahatan dan lainnya, tapi kita seolah terbiasa melihat semua kejadian itu. Kita seolah melihat semuanya itu hanya bagian dari kehidupan secara natural. Kejadian yang jelas tidak baik menurut ajaran kebaikan dan teori manapun. Kita dipaksa untuk membiarkan semua itu terjadi, apakah itu bukan kengerian?

   Kepintaran yang kita miliki akhirnya masuk ke dalam jurang kesia-siaan, karena kita tidak pernah berusaha untuk menuntaskan kengerian-kengerian itu. Kenapa kita tidak bersikap seperti melihat seekor Cobra tadi? Kita langsung mengambil langkah terbaik agar tidak terjadi hal yang buruk. Kenapa ketika melihat banyak orang kelaparan, gelandangan, pencurian, kejahatan dan lainnya, kita hanya bisa duduk manis sambil minum teh atau kopi? Apakah ada suatu usaha untuk menuntaskan kengerian tersebut? Aku berani menebak, walaupun kita orang-orang yang mengaku pintar, tapi kita tidak berusaha menuntaskan persoalan tersebut. Seperti yang telah dituliskan dimuka, kita ditekan agar bersikap biasa melihat semuanya. Acuh. Ditekan oleh suatu situasi yang tidak telihat, budaya.

Pendidikan sebagai Solusi

Pendidikan kita hari ini adalah suatu pendidikan yang hanya mampu mengajarkan, bagaimana menghapal tanggal dalam satu proses sejarah, bagaimana memecah soal matematika, bagaimana agar bisa menghasilkan para pekerja yang murah, dan bagaimana hidup seolah begitu adanya. Adakah yang salah dengan pendidikan ini? Ya, ini adalah kesalahan yang sudah sejak ratusan tahun dipelihara. Pendidikan akhirnya hanya proses pengajaran akan hal-hal di luar diri, bukan pengajaran agung tentang diri.

   Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, pendidikan macam apa yang mesti kita ciptakan? Tidak ada yang mesti diciptakan lagi, selain bagaimana orang bisa sadar akan kengerian-kengerian yang terjadi dan berusaha merubahnya. Tidak mesti diciptakan lagi karena pendidikan hari ini sudah maju dalam metode, tetapi tertinggal dalam bagaimana memanusiakan manusia. Mengajarkan kesadaran kemanusiaan—etis, spiritual—mungkin seolah terdengar konyol, tapi ini yang dibutuhkan manusia hari ini. Walaupun itu susah, kita harus terus melakukannya. Menjadi sadar akan lingkungan sekitar yang penuh dengan kengerian, kekejaman, kejahatan dan lainnya. Proses ini berawal dari diri sendiri yang menyadari secara penuh kegiatan diri sendiri, memantau cara kerja pikiran dengan cara meditasi, dan terus menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan di luar diri.

   Apakah kita akan seperti orang lain, dan mengikuti ucapan orang lain juga? Memang butuh keberanian untuk hidup tidak seperti biasanya, tidak menyesuaikan diri dengan pola yang lama atau pola yang baru. Kita harus menemukan apa artinya tidak pernah menyesuaikan diri dan apa artinya hidup tanpa rasa-takut. Semua itu usaha untuk melawan kengerian, kejahatan, yang seolah biasa, agar kita tidak terjebak ke dalam satu situasi dimana kita menjadi bebal dalam kengerian, dan menikmati kengerian itu.

   Hari ini kita masih menghirup udara segar, tapi apakah besok atau lusa kita masih tetap bisa menghirupnya? Menjaga bagaimana orang menyadari bahwa lingkungan jadi hal penting dalam suatu pembelajaran—walaupun pada dasarnya setiap detik, menit, hari manusia adalah makhluk yang terus belajar—karena dengan itu kita bisa merasakan ada semacam rangsangan untuk menaruh perhatian kepada sesuatu, bukan konsentrasi.

   Jika kita menaruh perhatian, kita melihat segala sesuatu jauh lebih jelas. Kita mendengar nyanyian burung jauh lebih nyata. Kita mampu membedakan berbagai suara. Jika kita menaruh perhatian, kita melihat dengan luar biasa jelasnya. Pernahkah kita melakukannya? Perhatian berbeda dengan konsentrasi. Jika kita berkonsentrasi, kita tidak melihat semuanya. Tetapi jika kita menaruh perhatian, kita melihat banyak hal. (J. Krishnamurti, 1979:7)

   Dalam hal ini, perhatian akan diri dan sekitar yang jadi metode untuk memecahkan semua kengerian, kejahatan, dan kebebalan tersebut. Kita harus lebih mendasarkan pendidikan hari ini untuk memecahkan krisis kemanusiaan, krisis ekologis, dan krisis spiritualitas. Perhatian akan semuanya ini, dengan mengedepankan pendidikan yang tidak terkotak-kotak, tetapi suatu pendidikan holistik.

   Jika pendidikan adalah suatu usaha untuk menjadikan manusia mempunyai kesadaran spiritual-kritis, sehingga ia bisa memahami lingkungan sekitarnya dengan baik, maka sudah selayaknya setiap orang menjadikan dirinya sebagai makhluk yang mempunyai kepekaan agar tidak melakukan kengerian tersebut. Memilih berbeda dengan masyarakat secara umum akhirnya menjadi pilihan terakhir untuk menciptakan suatu keadaan dimana melihat keadaan tak baik—kejahatan, kelaparan, pencurian, kengerian—jelas sesuatu yang harus diperbaiki. Berangkat dari asumsi tersebut, maka kita tidak akan larut pada keadaan yang menuntut kita terbiasa pada situasi-situasi yang menjadikan kita sama seperti mereka, vampir.

   Kejahatan, kebebalan, dan kengerian yang terbiasa kita lihat akhirnya adalah dampak dari suatu proses pendidikan yang ahumanis, yang hanya menjadikan manusia sebagai mesin, tidak memiliki rasa belas kasih dan kritis. Jika ini semua berawal dari suatu proses pendidikan yang masih jauh dari ‘sempurna’, maka tugas kita hari ini untuk membenahi kekurangan-kekurangan tersebut. Agar kelak pendidikan mampu menciptakan generasi yang sadar akan suatu situasi ketika seseorang atau masyarakat diarahkan pada suatu keadaan bebal, jahat dan kengeriaan. []

Sumber Rujukan:

Krishnamurti, Jiddu. Perihal Pendidikan (terj. dari On Education). Yayasan Krisnamurti Indonesia (YKI). Jakarta. 1979.

Freire, Paulo. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (terj. Alois A. Nugroho dari Education: The Practice of Freedom). Gramedia. Jakarta. 1984.

Leave a comment