A V I C E N N A (1)

Oleh: Syihabul Hajj

(Tulisan ini, merupakan estapet resume penulis atas tiga kuliah terbuka Seyyed Hossein Nasr di Harvard University sepanjang Maret 1962 di bawah prakarsa Center for Middle Eastern Studies dan Center for the Study of World Religions.  Tiga kuliah tersebut membahas Avicenna, Suhrawardi Al-Maqtul, dan Muhyiddin Ibn ‘Arabi yang kemudian diterbitkan oleh IRCiSoD dalam tajuk Tiga Madzhab Filsafat Islam, 2006. Selain untuk keperluan minat penulis atas perkuliahan Filsafat Islam, tulisan ini juga adalah rangkaian pengabdian sukarela beliau untuk mengisi rubrik “Sophia” ini dalam beberapa edisi Verstehn ke depan—Redaksi.)

*****

ABU ‘ALI SINA, yang dikenal dunia Barat dengan Avicenna dan diberi gelar “Pangeran Para Dokter”, dilahirkan pada 370/980 di dekat Bukhara. Sang ahli hikmah yang kemudian menjadi tokoh paling berpengaruh dalam Seni dan Pengetahuan Islam dan yang memperoleh gelar Al-Syaikh al-Ra’is (Pemimpin Orang-Orang Bijak) dan Hujjat al-Haqq (Bukti Sang Kebenaran/Tuhan), yang masih dikenal di Timur dengan gelar itu. (h. 44) Read the rest of this entry »

KEHENDAK UNTUK MUSNAH

Oleh: Faridz Yusuf

TIAP MANUSIA menghasrati keabadian. Ia menyadari akan kesementaraan dunia: ketika detik pergi, menitpun kelak mesti ditinggalkan, baik dikehendaki ataupun terpaksa. Waktu akan berjalan dengan demikian adanya. Pada sisi ini, manusia begitu rapuh jika disandingkan dengan waktu.

Salah satu sikap dari kecemasan akan keabadian ini bisa kita lihat misalnya pada tokoh Togog sebagaimana terbingkai dalam Wahyu Purba Sejati (On Thrones of Gold) buah tangan dari Ki Siswoharsojo. Hasrat keabadian Togog, sebagaimana yang dipaparkan Goenawan Mohamad, dikisahkan Togog bekerja untuk Raja Dasasukma (ruh Rahwana), dan anaknya Begasuksma (ruh Indrajit, anak Rahwana). Ia mengatakan dalam suatu waktu: “Meskipun hamba hanya pelayan, hambapun punya cita-cita, seperti orang lain: mengharapkan kehidupan sempurna di dunia dan setelah mati ….”1 Read the rest of this entry »

M U A K

Oleh: Wawan Abdurrohman

“SEJAUH mata memandang, sejauh mata hati menerawang,” ungkapan Astrid dalam lagunya yang berjudul Kosong. Seperti sebagian kehidupan kita sehari-hari. Begitu kosong jiwa kita dari sejumlah perbekalan hidup, sehingga kepolosan yang terjadi dalam menghadapinya. Pantas kalau kita selalu mengatakan “ya” pada kenyataan. Tanpa adanya sikap skeptis dalam diri kita untuk sesuatu yang dihadapi. Hidup selalu menuturkan arah angin dan mengalirnya air mungkin dikatakan baik tatkala kita sedang berada di laut ataupun di dalam bawah tanah, dengan tujuan mencari titik akhir dari sebuah perjalanan supaya sampai pada tujuan. Tapi dalam keadaan normal, hal itu bukanlah hal yang pantas dilakukan manusia yang diberi ketakterhinggaan potensi untuk menjalani kehidupan. Yakin akan kemampuan diri adalah usaha terbaik untuk kehidupan, tanpa menggantungkan harapan pada yang lain, ingin selalu diberi, dan hasrat ingin selalu dipuji oleh orang lain. Read the rest of this entry »

SYAIKH AL-AKBAR MUHYI AL-DIN IBN ‘ARABI

Oleh: Zaini Luthfi

DI KALANGAN pegiat Mistik Islam (Tasawuf) siapa yang tak mengenal sufi besar ini. Ia adalah Ibnu ‘Arabi nama lengkapnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Haitami ath-tho’i al-Andalusi. Para pengikut sufismenya memberi gelar kepada Ibnu ‘Arabi pertama Muhyi al-Din (Penghidup Agama), yang kedua as-Syekh al-Akbar (Guru Besar). Gelar kedua tampaknya lebih gandrung disebut-sebut oleh muridnya dari pada gelar pertama, (dalam tulisan ini penulis menyebut Ibnu ‘Arabi dengan sebutan Syekh saja). Sufi Keturunan Arab kuno Tho’i ini terlahir di Mursia sebelah tenggara Andalusia (Spanyol) pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibn Sa’id Ibn Mardanisy, ketika Dinasti al-Muwahhidin menaklukan Mursia pada 567 H/1172 M. Keluarganya berpindah tempat tinggal ke Seville setelah ayahnya diberi pekerjaan dinas pemerintahan atas kebaikan Abu Ya’qub Yusuf, penguasa Dinasti al-Muwahhidin pada saat itu. Syekh baru berusia delapan tahun ketika menetap di Seville. Ia terlahir dalam suasana keluarga yang taat beragama, ayah dan ketiga pamannya seorang sufi tentunya ini menjadi faktor pendukung dirinya untuk memilih jalan sufistik. Syekh kecil memulai pendidikan formalnya di sana. Pada saat itu Seville adalah kota pusat ilmu pengetahuan dan kota pusat sufisme dengan sejumlah guru sufi tertemuka yang tinggal disana. Di bawah bimbingan para guru dan sarjana-sarjana terkenal, Syekh mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mempelajari al-Qur’an dan Tafsirnya, Hadist, Fiqih, Teologi, dan Filsafat Skolastik. Kecerdasan luar biasa yang ditunjukannya mengantarkan Syekh pada usia muda sempat menjadi sekretaris Gubernur Seville dan pada periode ini Syekh menikahi seorang perempuan sholehah yang bernama Mariam, istrinya pun menyukai jalan sufistik dan ini menjadi faktor kondusif bagi Syekh mematangkan jiwa kesufiannya. Read the rest of this entry »

STANOVNIK | Verstehn #6

Oleh: Faridz Yusuf

“WHAT KIND OF THE WORLD ARE WE LEAVING OUR CHILDREN?”, merupakan tema pertemuan Meja Bundar Unesco bulan Juni tahun 1978. Juga sebagai kelanjutan dari dua tema sebelumnya, yakni di tahun 1976 “Culture, Society and Economics for a New World”; dan di tahun 1977 dengan tema “Suicide or Survival? The Challenge of The Year 2.000”.

Pertemuan itu dihadiri oleh berbagai tokoh seperti Daniel Oduber Quiros (mantan Presiden Republik Costa Rica 1974-1978), Philip Noel-Baker (peraih Nobel Perdamaian 1959), dan tokoh lainnya dari berbagai disiplin. Termasuk Janes Stanovnik. Read the rest of this entry »

Lukisan | Verstehn #6

Oleh: Pedi Ahmad

PAGI INI SEPERTI KEMARIN, embun masih menempel di dedaunan dekat jendela, kicau burung mulai terdengar soraksorai. Seperti biasa aku tidak langsung keluar kamar, duduk diam sekitar lima sampai sepuluh menit untuk mengingat apa yang aku mimpikan. Ternyata malam tadi aku tidak bermimpi apapun, itu terkaanku.

Kuseduh kopi untuk mulai mengawali hari santaiku. Iseng aku menyalakan komputer yang sudah mulai ketinggalan jaman itu. Tapi, tak apalah walaupun mulai ketinggalan jaman, toh komputer itu yang selalu menemaniku, memandangku ketika jemari mulai menari diatas keyboard dan menjaga rahasiaku ketika aku menonton blue film. Read the rest of this entry »

Media Agama: Suatu Telaah Sederhana | Verstehn #6

Oleh: Faridz Yusuf

SECARA UMUM, jika seseorang hendak berdialog langsung dengan yang lain, maka keduanya niscaya bakal bercakap sambil menatap wajah. Keduanya selain akan terhubung secara bahasa, juga bakal saling bertukar ekspresi. Dalam dialog itu, wajah kemudian jadi penanda bagi terhubungnya relasi antarmanusia yang sebelumnya diputus jarak geografis.

Selain itu, wajah yang punya kemampuan lebih dari 7.000 ekspresi, bisa dengan tangkas menyembunyikan keasliannya. Sebab wajah, siapapun lalu menaruh curiga, membentuk tafsir. Nampaknya, wajah semacam cermin ontologis: representasi simbolis agar yang lain bisa mengidentifikasi ke dalam fakta diri yang paling mungkin objektif. “Wajah,” kata Anthony Synnott, “selain publik, juga privat dan intim.” Read the rest of this entry »

Arkeologi Kejahatan | Verstehn #6

Oleh: Abdullah Zen

MINGGU 1/5/2011, melalui berbagai media, kita tahu Usama bin Laden tewas terbunuh. Orang nomor satu Al-Qaeda ini meninggal dalam baku tembak dengan pasukan khusus Amerika Serikat di sebuah mansion di kota Abbottabad, sekitar 100 km sebelah utara kota Islamabad, ibukota Pakistan.

Tewasnya Usama Bin Laden tentu membawa dua tanggapan saling bertentangan. Para pihak yang beranggapan Usama Bin Laden adalah terorisme akan mengatakan “mampus kau orang biadab!”. Sebaliknya, para pihak yang mendukung setia Usama Bin Laden akan mengutuk Amerika Serikat. Terlepas dari dua tanggapan ini, satu hal yang pasti—baik yang membela Usama maupun yang menyetujui penyerangan Amerika Serikat—akan saling menganggap yang lainnya sebagai orang jahat yang harus diperangi. Read the rest of this entry »

Sikap | Verstehn #6

Oleh: Sakim Sujatna

DIRI MANUSIA TERLAHIR sempurna. Kesempurnaan mengandaikan suatu kebaikan, sehingga pada dasarnya manusia itu sendiri terlahir dengan kebaikan-kebaikan yang dianugrahkan kepadanya. Maka dari itu, sangat ironi sekali dari sesuatu yang baik bisa melahirkan sesuatu yang buruk. Keburukan demi keburukan diklaim dan dijustifikasi berasal dari manusia itu sendiri. Mungkin dari situlah adanya istilah manusia baik dan manusia buruk. Memang, kita tidak bisa mengingkari bahwa kenyataan membuktikan sudah terlalu banyak keburukan-keburukan yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri.

Apakah mungkin keburukan terlahir dari manusia yang pada dasarnnya dilahirkan dengan kebaikan-kebaikan yang diperuntukannya? Andaikan keburukan dilahirkan oleh manusia, mungkinkah keburukan itu disadari ataukah berjalan secara alamiah saja tanpa suatu kesadaran? Sebuah pertanyaan yang sangat begitu sederhana namun kiranya perlu pemikiran dan pengalaman yang mendalam untuk menjawabnya. Read the rest of this entry »

Kepemimpinan | Verstehn #6

Oleh: D. Andeska*)

TANPA KITA SADARI tiap perjuangan atas nama pembaharuan, tiap gerakan untuk menumbangkan yang-lama dengan yang-baru, tentu didasari adanya kecacatan dari yang-lama, yang akan diberontak itu. Dan yang-baru, tentu mengeluarkan janji yang muluk-muluk kepada rakyat.

Karena tak mungkin pembaharuan berhasil tanpa dukungan rakyat, maka rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan yang lama, semuanya ini hanyalah siasat belaka, atau mungkin janji hati nurani yang dikeluarkan oleh para pemimpin yang setelah berhasil dan maksudnya tercapai, karena mabuk kemenangan, maka dilupakan secara sengaja atau tidak sengaja janji-janji yang telah dikeluarkannya ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakannya. Dan hal ini terus-menerus berulang, yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan menonjolkan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan yang pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang paling menyedihkan, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan provokasi dan mau saja dibodohi oleh janji-janji muluk dan tak kunjung terpenuhi itu! Read the rest of this entry »

Kejahatan: Sebuah Pengakuan | Verstehn #6

Oleh: H. Syihabul Furqon

KEKERASAN adalah sumber penderitaan. Karena apa pun alasannya yang namanya kekerasan itu selalu berimplikasi penderitaan. Seperti halnya seseorang yang menyakiti diri sendiri dan atau pun menyakiti orang yang ada di sekelilingnya. Pastilah dari sana penderitaan ditimbulkan, baik itu penderitaan fisik yang disebabkan kekerasan fisik maupun penderitaan batin yang lebih bersifat psikologis.

            Tapi, jika kita melihatnya ke depan—dalam arti jika kita melihat implikasinya, maka yang akan kita dapatkan adalah penderitaan itu sendiri. Sepertinya, alangkah lebih asyik jika kita merunut akar permasalahan yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan. Dan kemudian kita mengurai dari sebab apa kekerasan itu bisa terjadi. Karena, bukankah setiap kita—disadari maupun tidak—sepertinya memiliki akar kekerasan yang sama. Read the rest of this entry »

« Older entries