STANOVNIK | Verstehn #6

Oleh: Faridz Yusuf

“WHAT KIND OF THE WORLD ARE WE LEAVING OUR CHILDREN?”, merupakan tema pertemuan Meja Bundar Unesco bulan Juni tahun 1978. Juga sebagai kelanjutan dari dua tema sebelumnya, yakni di tahun 1976 “Culture, Society and Economics for a New World”; dan di tahun 1977 dengan tema “Suicide or Survival? The Challenge of The Year 2.000”.

Pertemuan itu dihadiri oleh berbagai tokoh seperti Daniel Oduber Quiros (mantan Presiden Republik Costa Rica 1974-1978), Philip Noel-Baker (peraih Nobel Perdamaian 1959), dan tokoh lainnya dari berbagai disiplin. Termasuk Janes Stanovnik.

Dunia Yang Galau

Dapat dikatakan bahwa, hampir seluruh peserta galau pada dua hal: dampak persenjataan nuklir dan kemiskinan sebagai ketimpangan sosial. Misalnya, Estafania Aldaba-Lim dalam “Tata Internasional Baru: Satu-satunya Harapan untuk Perdamaian” mengungkapkan bahwa keterkaitan persoalan pembangunan persenjataan dengan kesejahteraan anak-anak. Padahal, menurutnya, budgetnya bisa dimanfaatkan untuk menyediakan sandang, pangan, perlindungan, kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak.

Begitu juga menurut Yose R. Delgado, penulis Physical Control of the Mind: Toward a Phychocivillized Society. Lewat tulisannya Pengetahuan tanpa Kebijaksanaan: Kerumitan dalam Benak Manusia, Delgado percaya bahwa salah satu kerumitan dewasa ini adalah sangat timpangnya kekuatan nuklir, industri, tenaga listrik dan kekuatan lainnya, dengan kekuasaan yang dipegang segelintir orang yang minim kearifan.

 

Mea Culpa dan Alienasi

Dunia semacam itukah yang hendak diwariskan? Tidak. Setidaknya bagi Janes Stanovnik, Sekretaris Eksekutif Komisi PBB di Eropa sejak tahun 1968 dan Penasehat Khusus Sekjen di Konferensi PBB di bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Menurutnya, kita tak perlu putus asa dan mengatakan, “Mea Culpa,” “Saya berikan padamu dunia yang sudah terpecah belah dan tidak menyenangkan.”

Stanovnik melihat, keterpecah-belahan dunia ini disebabkan karena keterasingan (alienasi). Pertama, terpisahnya manusia dari dunia pekerjaan atau sarana produksi (sesuai dengan aliran Marxis). Akhirnya, di denah inilah kemiskinan dan lenyapnya hak atas pendidikan terjadi.

Jejaring kekuasan di dunia, lanjutnya, menyebabkan, keterasingan kedua, alienasi manusia yang satu dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, bagi Stanovnik, perlombaan senjata tidak ditujukan untuk maksud-maksud penertiban. Sebaliknya ia percaya bahwa, “penyebaran pengetahuan dan kekayaan ke dalam permainan yang dinamakan senjata—memberi kehendak sendiri agar dipatuhi orang lain.”

Dua alienasi di atas menurut Stanovnik menjurus ke alienasi ketiga, yakni keterasingan manusia dari alam dan Penciptanya. Eksploitasi dan hasrat menjadi penguasa tunggal alam, diklaim Stanovnik sebagai pengolahan yang paling boros. Sebab, “hanya untuk satu tujuan dan alasan sederhana, karena keuntungannya bersifat pribadi, sedangkan kerusakan yang menimpa lingkungan selalu bersifat umum.”

Los Todos

Dalam menjawab permasalahan di atas, Stanovnik mengemukakan empat pertanyaan kanonik: Qui, quid, duomodo, dan quando; Siapa yang melakukan? Apa yang dikerjakannya? Bagaimana cara kerjanya? Kapan pelaksanaannya?.

Siapa yang melakukan? “Los Todos, kita semua yang melakukan itu, bukan orang lain,” tulis Stanovnik, dengan mengutip slogan seorang presiden Mexico. Ia juga begitu terkesan dengan resep kemandirian a la Julius Nyerere, seorang pemimpin Afrika, bahwa “siapa saja yang mengharapkan struktur kekuasaan yang sekarang akan berubah, dia sedang berjalan di jalur yang keliru. Kita harus bertitik tolak dari pekerjaan sendiri […] bersandar kepada kemampuan  dan kemungkinan yang kita miliki.”

Dalam hal ini, Stanovnik percaya bahwa ledakan populasi remaja di negara berkembang bisa dijadikan kekuatan. Sebab, menurutnya, selain masa depan berada di pundak remaja, tetapi juga sejarah telah membuktikan bahwa mereka jadi sosok alasan berhentinya perang di Vietnam. Di sini, Stanovnik terilhami kisah Tagore, penyair dan mistikus India, tentang seekor gajah (perlambang kekuasaan dan kekuatan di India) yang terseret dan tenggelam dalam pasir apung (quicksand). “Gajah itu mati bukan karena tidak mempunyai kekuatan atau karena pasir itu begitu liat, tetapi karena pasir itu terlalu banyak,” tulis Stanovnik.

Oleh karena itu, menjawab pertanyaan ‘Apa yang dikerjakannya?’, Stanovnik memilih para generasi baru harus dimulai dengan mengubah Realita Ekonomi. Kenapa tidak pelucutan senjata? Stanovnik merasa itu diplomasi yang sulit. Tentu Stanovnik tahu, bukan karena kita kurang cerdas untuk membuat suatu draf hebat perihal pelucutan senjata, tetapi di sana ada kekuasaan: dibekukan di satu tempat, tetapi “tali yang mengikat sumber daya akan dibuka dan kemudian dilakukan penelitian di tempat lain,” tulisnya.

Stanovnik memilih ekonomi karena baginya, berdasar pengalamannya mengajar, sesuatu yang lemah mengundang sikap yang agresif. Dengan demikian, menurutnya—menjawab pertanyaan ‘Bagaimana cara kerjanya?’ dan Kapan pelaksanaannya?’—kita harus menghapus kelemahan itu sendiri, termasuk kelemahan ekonomi. Maka diperlukanlah sekarang ini ekonomi perkembangan yang lebih menekankan pada persamaan dalam kesempatan.

Ringseknya dunia di ambang wajah ganda teknologi dan kekuasaan, Stanovnik berpesan bahwa, “Ilmu pengetahuan mempunyai fungsi dan tugas sosial tertentu. Hendaknya manusia jangan terjebak dan dikuasai ilmu pengetahuan; sebaliknya yang akan dicapai oleh manusialah yang harus memberikan arah dan orientasi kepada ilmu pengetahuan. Meskipun aspek kehidupan dunia ini banyak yang tidak wajar, tapi saya percaya masih terdapat kemampuan dan potensi kita untuk mencapai dunia baru yang lebih cerah.”

Demikian yang pernah terpikirkan Stanovnik untuk generasi kita: yang konon secerdas ini. Bagi kita, apa yang terpikirkan buat anak kita, selain mengenalkan facebook, twitter, video mesum, korupsi, bom, dan kecintaan kita yang luar biasa pada sinetron?[]

Leave a comment