M U A K

Oleh: Wawan Abdurrohman

“SEJAUH mata memandang, sejauh mata hati menerawang,” ungkapan Astrid dalam lagunya yang berjudul Kosong. Seperti sebagian kehidupan kita sehari-hari. Begitu kosong jiwa kita dari sejumlah perbekalan hidup, sehingga kepolosan yang terjadi dalam menghadapinya. Pantas kalau kita selalu mengatakan “ya” pada kenyataan. Tanpa adanya sikap skeptis dalam diri kita untuk sesuatu yang dihadapi. Hidup selalu menuturkan arah angin dan mengalirnya air mungkin dikatakan baik tatkala kita sedang berada di laut ataupun di dalam bawah tanah, dengan tujuan mencari titik akhir dari sebuah perjalanan supaya sampai pada tujuan. Tapi dalam keadaan normal, hal itu bukanlah hal yang pantas dilakukan manusia yang diberi ketakterhinggaan potensi untuk menjalani kehidupan. Yakin akan kemampuan diri adalah usaha terbaik untuk kehidupan, tanpa menggantungkan harapan pada yang lain, ingin selalu diberi, dan hasrat ingin selalu dipuji oleh orang lain. Read the rest of this entry »

Lukisan | Verstehn #6

Oleh: Pedi Ahmad

PAGI INI SEPERTI KEMARIN, embun masih menempel di dedaunan dekat jendela, kicau burung mulai terdengar soraksorai. Seperti biasa aku tidak langsung keluar kamar, duduk diam sekitar lima sampai sepuluh menit untuk mengingat apa yang aku mimpikan. Ternyata malam tadi aku tidak bermimpi apapun, itu terkaanku.

Kuseduh kopi untuk mulai mengawali hari santaiku. Iseng aku menyalakan komputer yang sudah mulai ketinggalan jaman itu. Tapi, tak apalah walaupun mulai ketinggalan jaman, toh komputer itu yang selalu menemaniku, memandangku ketika jemari mulai menari diatas keyboard dan menjaga rahasiaku ketika aku menonton blue film. Read the rest of this entry »

GUMAM | VERSTEHN #5

Sebuah Puisi untuk Ayah

Oleh: Abdullah Zen

Kau, tersenyum selalu.

Wajah tuamu, segar seolah tak menyimpan sesal

Kupandangi selalu di sela-sela lelahku Read the rest of this entry »

LEBIH GILA DARI GILA | VERSTEHN #5

Oleh: Pedi Ahmad

untuk FR

SEMENJAK kedatanganmu waktu itu, aku begitu kagum dengan kemampuanmu. Wajar aku begitu tertarik olehmu. Tapi aku tahu apa yang kulakukan, semuanya akan menuju kepada sesuatu yang menurut orang lain hanya bermain-main dengan api. Ah, tapi itu tidak membuatku takut untuk lebih mengenalmu.

Akhirnya, kamu mulai kembali ke tatapikirmu yang dulu, rigorus-pragmatis. Untuk apa semua itu? Kamu tidak pernah mengikuti nalar hatimu. Ya memang aku mulai sedikit tahu, kamu selalu merasa nyaman ketika kamu merasa tersiksa. Read the rest of this entry »