Lukisan | Verstehn #6

Oleh: Pedi Ahmad

PAGI INI SEPERTI KEMARIN, embun masih menempel di dedaunan dekat jendela, kicau burung mulai terdengar soraksorai. Seperti biasa aku tidak langsung keluar kamar, duduk diam sekitar lima sampai sepuluh menit untuk mengingat apa yang aku mimpikan. Ternyata malam tadi aku tidak bermimpi apapun, itu terkaanku.

Kuseduh kopi untuk mulai mengawali hari santaiku. Iseng aku menyalakan komputer yang sudah mulai ketinggalan jaman itu. Tapi, tak apalah walaupun mulai ketinggalan jaman, toh komputer itu yang selalu menemaniku, memandangku ketika jemari mulai menari diatas keyboard dan menjaga rahasiaku ketika aku menonton blue film.

 Mulai dibuka beberapa folder yang aku juga hampir lupa apa isi folder tersebut. Aku melihat beberapa foto, makalah, diary, dan video perpisahan waktu SMA. Oh, ternyata disana masih ada foto kekasihku waktu SMA. Sentak aku ingat masa-masa yang menjadi indah untuk dikenang hari ini ketika bersamanya, ada suka-duka yang membalut luka dan bahagia. Apakah kalian tahu mantan kekasihku dulu? Dia gadis cantik yang menjadi primadona di SMA tempatku sekolah dulu. Beruntunglah aku bisa menjadi kekasihnya.

SEGERA KUCIPTA kata untuk menebus luka, agar semuanya menjadi nyata. Tak lupa sesekali aku minum kopi yang mulai dingin itu. Ada harap ketika jemari mencipta kata, kalimat, dan paragraf. Mungkin itu tak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi aku lagi-lagi mulai mengikuti jemari mengetik kata-kata yang menurut tatapikirku sendiri tak pernah terpikirkan sebelumnya. Seolah tubuhku ingin mengatakan sesuatu yang tak mesti memberitahu akal-pikiranku. Semua kecemasan itu tak pernah berhenti mengalir menjelma kata, kalimat dan sebuah sikap. Aku menjadi ingat beberapa orang yang selalu berkata, “menulis itu tidak pernah selesai”.

Sesekali aku berhenti sejenak untuk melihat tulisan, untuk menyadari bahwa aku sedang mengerjakan sesuatu atau menyadari bahwa aku sedang menikmati hari santaiku. Semua itu selalu kulakukan ketika tak sibuk dengan pekerjaanku. Optimisme terasa dibuat-buat dari suasana seperti itu, tapi harapan tidak. Dari harapan yang tersembunyi—dengan bahasa yang menyatakan sakit dan miskin, rindu dan dendam—sastra lahir, politik lahir, Juga pahlawan.

Ketika berhenti sejenak sekedar meluruskan pinggang, terkadang aku ingat ibuku yang selalu terngiang ucapnya ditelinga, “jangan pernah berhenti menulis.” Mungkin dulu ibu menganggap aku baru belajar menulis, maka beliau berkata seperti itu. Dan hari ini ketika ucapnya yang sudah lebih dari sepuluh tahun, aku masih tetap saja belajar menulis.

Kring… kring… kriiingngng… telfon terus saja berbunyi, seolah ia ingin diperhatikan seperti komputer kesayanganku ini. Kuangkat batang telfon, “hallo.. ini siapa?”

“ Hallo.. Rizal ini Gina,” suaranya kecil, “masih ingat ‘nggak?”

Aku tidak langsung menyahutnya, mengingat siapakah dia? Nama itu terlalu banyak dikepalaku, tapi dari suaranya aku sangat kenal, bahkan intim dengan telingaku.

“Gina yang mana ya?” jawabku pura-pura penasaran.

“Rizal ini aku Gina teman SMA-mu dulu, sudah ingat?”

“Ya.. ya.. ya.. Aku ingat. Gimana kabarnya?” sebenarnya tadipun aku sudah ingat, tapi tak menebaknya karena takut salah.

Ah lagi-lagi takut. Mengapa harus ada rasa takut? Aku ingat Daredevil, di sana ada kutipan yang masih aku ingat, “rasa takut itu ada ketika ada harapan.” Saat ini mungkin aku sedang berharap sesuatu, tapi aku tak merasakan takut. Atau karena aku sedang mengharapakan rasa takut yang amat, maka aku menjadi tidak takut? Tapi, untuk apa aku mengharapkan rasa takut? Apakah hanya untuk sekedar memperbaiki sikap dari sebuah harapan dan kegelisahan? Ah sudahlah, banyak teori tentang rasa takut, dan sungguh tak ingin mengingatnya.

“Alhamdulillah sehat. Kamu gimana? sehat kan?” ujarnya penuh semangat, “Tahu ‘nggak, besok ada kumpulan teman-teman SMA angkatan kita?”

“Beneran Gin? Gak tahu tuh.”

“Ia benar, besok ada kumpulan angkatan kita, di rumah makan dekat sekolah. Datang ya!” Ucapnya tegas.

“Ok. Kalo tidak ada kesibukan aku akan datang kesana”.

Bla… bla… bla… bla… Percakapan masih tetap berjalan, tapi cukuplah sampai di sana, karena tak begitu penting, walaupun sedikit rahasia untuk dibicarakan. Apakah kamu tahu rahasianya apa? Rahasianya adalah rahasia.

Aku kembali lagi kedepan layar monitor, menuliskan sesuatu yang menurutku penting. Sesekali aku ingat Gina, bersamanya aku selalu menghabiskan waktu setelah pulang sekolah dulu. Makan-makan, jalan-jalan, dan yang lainnya. Satu kejadian yang masih aku ingat jelas, ketika aku dan Gina makan ke salahsatu kantin dekat sekolah, kita dicuekkan oleh pedagangnya. Tak tahu kenapa itu terjadi, mungkin aku pernah lupa bayar makanannya. Aku masih ingat jelas kantin itu, walaupun sudah lima tahun tak kesana. Depannya berjajar minuman cola, dikanan-kiri ada meja dan kursi panjang menghadap tembok, dengan cat tembok warna krem dan merah muda, disamping kantin itu ada toko kacamata. Disana, di depan toko kacamata biasanya kita melepas penat, tertawa terbahak membicarakan ini itu seputar sekolah, dan terkadang aku ingat, Gina suka membicaran tentang hasrat seksualnya, dan kecenderungannya menyukai sesama jenis.

TAK PERNAH kuduga sebelumnya, begitu pesat waktu melesat, pagi telah menjelma siang, aku tak tahu sudah berapa jam menghadap monitor. Mungkin hari ini benar-benar hari santai untukku, tak ada gangguan lain yang berarti selain telfon dari Gina tadi. Aku istirahat sejenak dan kembali lagi kedepan monitor membuka folder SMA lagi, melihat foto teman-teman, termasuk Gina. Ya, sekarang aku ingat wajah orang yang tadi menelfon, tapi apakah sekarang wajahnya masih tetap seperti wajah-mungil yang ada dalam foto lima tahun lalu itu? Atau sudah berubah? Ah, aku tak tahu, namun aku yakin dia lebih dewasa, walaupun tidak sedewasa Madam Curie, satu-satunya wanita yang mendapat dua penghargaan Nobel.

   Sesekali aku melamun-hampa, menatap layar monitor, sedikit rasa ingin keluar, walaupun kusadar bahwa diluar mungkin sedang banyak tangis-darah. Hanya itu yang bisa diperbuat hari ini, tak apalah karena ini adalah hari santai untukku. Mungkin sedikit hedonis, tapi biarlah, sesekali aku ingin lepas dari kebiasaan.

KUTATAP LUKISAN yang ada di dinding. Diam, matanya melotot-bengis, mungkin dia keturunan Rahwana dalam cerita Rama dan Sinta. Walaupun bengis tapi masih tetap berguna, karena gara-gara raja Alengka menculik Sinta, ketahuanlah rasa cinta Rama yang tak ada apa-apanya, yang hanya bisa mengutus Hanoman untuk membebaskan Sinta. Tapi di lukisan itu aku tak yakin dia keturunan Raja para raksasa. Apakah ada pelukis yang ingin mengotori kanvas untuk membuat gambar bengis keturunan Alengka?

Kenapa aku baru menatap lukisan itu hari ini? Padahal lukisan itu sudah menempel sejak sebulan yang lalu. Parah, aku begitu lupa keadaan sekitar. Jangankan untuk memperbaiki keadaan sekitar, hal yang begitu dekatpun terkadang lupa, padahal aku sendiri yang memasang lukisan itu.

SIANG INI setelah hari santaiku kemarin habis, kusempatkan datang ke kumpulan SMA. Aku dan Gina dari dulu tak suka menyebutnya reuni, karena dikumpulan ini seperti biasanya, hanya bisa makan-makan, menanyakan pekerjaan, sudah menikah atau belum, punya anak dan bla..bla..bla.. lainnya. Menjemukan.

Dalam setiap kumpulan SMA, aku slalu berkata, “kita semua disini adalah orang pintar, tapi sayang kita cuma pintar ihwal kuliner dan jalan-jalan. Tidak pernah ada usaha untuk memperbaiki keadaan sekitar dan kita hanya menjadi budak teknologi.” Kataku tegas walaupun nampak belaga bijak. Namun, itu yang membuat Gina selalu menelfon jika ada kumpulan SMA.

Beberapa teman selalu menyanggah perkataanku, “ngapain mikirin orang lain, belum tentu orang lain juga mikirin kita.” Jawaban yang tangkas dengan nada sinis.

Aku hanya bisa tersenyum sambil sesekali meminum kopi dan ngobrolin masalah kesejahtraan, pendidikan, dan pengembangan sumberdaya manusia. terkadang obrolan itu selalu diteruskan dengan sesekali mengadakan kegiatan dari hasil perbincangan itu. Aku ngobrol hanya dengan Gina karena diantara semuanya, hanya dia dan beberapa teman yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosial dan ke-diri-an. Dia juga alasanku untuk tetap menikmati kumpulan SMA ini, dan mungkin harapanku untuk merajut talikasih yang pernah terputus.

MALAM BASAH kini menemaniku, setelah pikuk dengan aktifitas seharian, aku duduk termenung, kembali memandang lukisan itu. Dalam setiap keburukan tersimpan kebaikan, begitupun sebaliknya, dalam setiap kebaikan masih ada setitik keburukan, tergantung bagaimana kita memandang semua itu. Aku menyadari dengan adanya ruang untuk dialog semestinya tak ada yang relativistis dan nihilistis dibumi ini. Sesekali aku berpikiran seperti itu, apakah itu benar atau tidak, aku tak tahu. Entahlah.

Terkadang lukisan itu seolah ingin mengatakan sesuatu, aku mungkin tak memahaminya. Sesekali dia menjelma muram, dengan tangislirih yang menceritakan persoalan hidup yang tak pernah selesai. Sekali waktu dia menjelma murka, dengan semua bengis yang terkadang aku pahami dia dalam ketakmengenalan diriya. Dan ketika selintas aku melihatnya, lukisan itu tak mengatakan apapun, dengan semua ketakjelasannya, bisu. Setelah lama memandang lukisan, aku berpikiran bahwa lukisan sama seperti tulisan, selalu menyimpan gagasan dan kecemasan. Sekali lagi kupandangi lukisan itu, dan aku tahu bahwa lukisan mirip aktifitas keseharian, untuk mencintai kehidupan.[]

Leave a comment