Sikap | Verstehn #6

Oleh: Sakim Sujatna

DIRI MANUSIA TERLAHIR sempurna. Kesempurnaan mengandaikan suatu kebaikan, sehingga pada dasarnya manusia itu sendiri terlahir dengan kebaikan-kebaikan yang dianugrahkan kepadanya. Maka dari itu, sangat ironi sekali dari sesuatu yang baik bisa melahirkan sesuatu yang buruk. Keburukan demi keburukan diklaim dan dijustifikasi berasal dari manusia itu sendiri. Mungkin dari situlah adanya istilah manusia baik dan manusia buruk. Memang, kita tidak bisa mengingkari bahwa kenyataan membuktikan sudah terlalu banyak keburukan-keburukan yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri.

Apakah mungkin keburukan terlahir dari manusia yang pada dasarnnya dilahirkan dengan kebaikan-kebaikan yang diperuntukannya? Andaikan keburukan dilahirkan oleh manusia, mungkinkah keburukan itu disadari ataukah berjalan secara alamiah saja tanpa suatu kesadaran? Sebuah pertanyaan yang sangat begitu sederhana namun kiranya perlu pemikiran dan pengalaman yang mendalam untuk menjawabnya.

Dari uraian di atas, seakan-akan terjadi pengingkaran pada tabiat asal manusia itu sendiri. Manusia penuh dengan pengingkaran-pengingkaran pada dirinya, entah itu dalam bentuk rasa, keinginan, pengetahuan ataupun pola kehidupan yang bertentangan dengan kenyataannya sendiri. Seorang gadis bisa saja mengingkari isi hatinya. Ketika ditanya “Apakah kamu mencintai seorang jejaka itu?”, dia menjawab “Tidak”, padahal isi hatinya mengatakan “Ya”. Gadis tersebut membuat sejumlah alasan-alasan untuk mengingkari isi hatinya. Dari contoh tersebut pantaslah ada sebuah sebutan bagi manusia yang berkonotasi negatif, yaitu, bahwa manusia pandai bersilat lidah. Ketidakberanian mengungkapkan isi hati pun merupakan suatu ketidakmampuan manusia itu sendiri dalam hidupnya. Bagaimana mungkin manusia seperti itu mampu menghadapi hidup, sementara mengungkapkan isi hati pun dia tidak ada keberanian.

   Kita sebagai manusia tentunya tahu, bahwa penilaian baik dan buruk itu terjadi ketika segala sesuatu yang ada di dalam diri kita itu dimanifestasikan ke dalam dunia riil entah dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan. Di sini kita mengandaikan sesuatu di luar diri kita, dalam arti berelasi dengan sesama manusia, ataupun dengan alam yang bergerak.

   Ketika kita menjustifikasi atas perbuatan orang lain terhadap diri kita, bahwa perbuatan itu tidaklah baik—buruk. Itu pastinya penilaian-penilaian yang bersifat subjektif yang berdasarkan atas standar-standar atau kategori-kategori yang dimiliki, yang digunakan untuk menjalankan justifikasi terhadap perbuatan atau ucapan orang lain yang kita terima. Ketika itu kita merasa yang paling benar dan paling berhak untuk memutuskan penilaian terhadap sesuatu yang berada di luar kita. Walaupun itu pada dasarnya bersifat subjektif yang didasarkan pada standar-standar atau pengkategorian-kategorian tadi.

   Manusia begitu kompleks dan begitu dalam ketika kita menyelaminya. Apakah bisa diukur dengan standarisasi yang kita ciptakan sendiri? Standarisasi yang di dalamnya terdapat begitu banyak keterbatasan-keterbatasan kita, dari mulai pemikiran, pengalaman bahkan penghayatan akan hidup.

   Jangan-jangan ketika menjustifikasi perbuatan atau ucapan orang lain terhadap kita yang berkesankan buruk, itu karena kita tidak memahami atas maksud dan pola kehidupannya. Bisa saja dia bermaksud baik, namun karena kita tidak memahaminya, hal itu dianggap buruk. Ataupun bisa saja terjadi kesalahpahaman, terhadap tindakan orang lain yang bermaksud baik terhadap kita namun kita menganggapnya itu buruk, karena kita terlalu memaksakan standarisasi yang kita miliki terhadap sesuatu di luar kita, jelasnya kita terlalu memaksakan kehendak atau keinginan kepada sesuatu yang ada di luar supaya sesuai dengan harapan kita. pada saat itu dampak yang terjadi sudah dapat dipastikan yaitu kekecewaan, karena ketidaksesuaian atas apa yang kita harapkan, jelas itu menyakitkan.

   Hal ini, tentunya sangat tidak diharapkan oleh setiap makhluk hidup yang memiliki rasa. Dan ketika itu terjadi pastilah kata yang terucap adalah sesuatu yang “buruk”. Karena ketidakmauan kita untuk menerima atas apa yang terjadi dengan realitas yang dihadapi. Hal ini, seolah-olah mempertegas ketidakmampuan kita dalam menghadapi realitas.

   Atas kasus yang terjadi itu, apakah keburukan itu ada pada dirinya sendiri, yang memang itu adalah buruk, atau keburukan itu terjadi atas ketidakmampuan kita untuk memahami dan menghayati apa yang telah terjadi? Sungguh sulit untuk menerima dan mengakui atas ketidakmampuan atau ketidakberdayaan kita untuk memahami realitas yang terjadi. Lebih parahnya, kita berapologi dan mencari kambinghitam untuk menutupi ketidakmampuan diri.

   Manusia dalam kehidupannya selalu saja mengandaikan kebaikan-kebaikan. Entah itu bagi dirinya sendiri juga seseorang yang dikasihinya. Namun, tidak setiap maksud baik itu diterima dengan baik, jika direlasikan dengan sesuatu yang ada di luar kita. Keterkaitan sikap terhadap sesuatu yang ada di luar diri ini akan bersifat spesifik dalam bagaimana cara kita menyampaikan kebaikan itu sendiri.

   Sikap bijaksana dalam memahami sesuatu dari luar sangat dibutuhkan bagi setiap manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Bijaksana dalam menyikapi sesuatu yang dianggap buruk oleh kita dan rendah hati dalam menanggapi kebaikan yang kita rasakan dari sesuatu di luar diri.

   Rasa cinta, peduli, dan saling mengasihi sangat dibutuhkan bagi kehidupan yang berelasi dengan manusia lain. Hal ini dibutuhkan untuk mewujudkan keharmonian dan kedamain dalam menjalani hidup. Sebab pada dasarnya manusia itu selalu menginginkan sesuatu yang damai, indah, dan baik-baik saja.

   Namun, satu hal yang patut untuk diperhatikan dalam suatu kehidupan yang berelasi yaitu, tidak ada paksaan dalam kehidupan. Kekacauan akan terjadi, ketika paksaan itu diwujudkan dalam kehidupan dengan yang lain. Sebab, sifat paksaan sudah meniadakan keberagaman, dan selalu mengandaikan keseragaman. Sementara, dalam hidup ini keberagaman adalah suatu keniscayaan. Entah itu berupa sifat, karakter, pikiran, lingkungan, adat dan budaya. Hanya hidup yang bijaksanalah yang bisa mengartikan sebaik-baiknya kehidupan. Saling memahami dan menghormati atas keberagaman yang terjadi di sekitar kitalah yang akan mewujudkan kebaikan.

   Edmund Husserl dengan kata-kata masyhurnya, “Zuruck zu den sachen selbst” (Kembalilah pada kenyataan itu sendiri). Dengan refleksi fenomenologis, kita akan membiarkan kenyataan itu memberikan kesannya kepada kita dan menjadi penikmat dari apa yang diberikan kenyataan itu sendiri.

   Maka dari itu, penilaian baik dan buruk akan hilang dengan sendirinya, dengan terwujudnya rasa saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Jujur dan mengaku atas ketidakmampuan diri pun perlu ditekankan lagi. Guna meningkatkan sebuah taraf hidup yang lebih baik, yang selalu dicita-citakan  manusia selama hidupnya.[]

Sumber Rujukan:

Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Leave a comment