Arkeologi Kejahatan | Verstehn #6

Oleh: Abdullah Zen

MINGGU 1/5/2011, melalui berbagai media, kita tahu Usama bin Laden tewas terbunuh. Orang nomor satu Al-Qaeda ini meninggal dalam baku tembak dengan pasukan khusus Amerika Serikat di sebuah mansion di kota Abbottabad, sekitar 100 km sebelah utara kota Islamabad, ibukota Pakistan.

Tewasnya Usama Bin Laden tentu membawa dua tanggapan saling bertentangan. Para pihak yang beranggapan Usama Bin Laden adalah terorisme akan mengatakan “mampus kau orang biadab!”. Sebaliknya, para pihak yang mendukung setia Usama Bin Laden akan mengutuk Amerika Serikat. Terlepas dari dua tanggapan ini, satu hal yang pasti—baik yang membela Usama maupun yang menyetujui penyerangan Amerika Serikat—akan saling menganggap yang lainnya sebagai orang jahat yang harus diperangi.

Seluruh manusia, tak dapat disangkal, mengutuk kejahatan. Kenapa? Kejahatan selalu meminta korban. Namun demikian, sejarah membuktikan satu sama lain saling membunuh dengan alasan yang sama: memberantas kejahatan. Satu kisah dalam Islam menceritakan bahwa Nabi Khidir pernah membunuh seorang anak kecil dengan alasan anak tersebut kalau sudah besar akan jadi pembunuh. Ini adalah sesuatu yang kontrakdiktif, seperti mencuci pakaian yang terkena darah dengan darah. Dalam kenyataan paradoks ini, kita bisa bertanya kenapa kejahatan bisa terjadi? Apakah dunia akan terbebas dari kejahatan? Bukankah setiap orang mendambakan ketenangan dan kedamaian? Apakah kejahatan itu?

 

Motif Tindakan

Kalau kita bertanya pada diri sendiri, apakah yang menjadi dasar ketika kita melakukan sesuatu dengan mudah dan sederhana, ada dua jawaban: pertama, bertahan hidup; kedua, mewujudkan keinginan. Kebutuhan bertahan hidup berkaitan dengan hal-hal material yang bersifat pemenuhan dimensi biologis: makan, minum atau seks. Sedangkan tindakan mewujudkan keinginan berhubungan dengan hasrat psikologis, misalnya keamanan, keindahan atau kebahagian.

Dalam psikologi terdapat perdebatan tentang manakah yang menjadi faktor dominan dalam tindakan seseorang. Sigmund Freud lebih memilih sebab biologis. Sebaliknya, Abraham Maslow memilih sebab psikologis. Pertentangan pendapat ini biasa disimbolkan dengan piramida kerucut ke atas dan ke bawah. Terlepas dari perdebatan ini, kita barangkali akan bersepakat bahwa baik dimensi biologis maupun psikologis memainkan peranan penting dalam tindak tanduk sehari-hari. Alternatif ini bisa dibenarkan kalau kita melihat manusia sebagai suatu kesatuan badan dan jiwa sebagaimana dilakukan oleh Merleau-Ponty. Menurutnya, manusia ialah suatu mahluk unik,  dia tidak seratus persen mahluk jasmaniah dan tidak seratus persen rohaniah. Sejauh manusia dapat diketahui, dia mewahyukan suatu realitas khusus yaitu suatu segi badan dan roh dalam suatu dialektika atau kausalitas sirkuler. Badan manusia mempengaruhi kondisi kejiwaan, sebaliknya jiwa menentukan bagaimana seseorang bertindak.

Berdasarkan dua keniscayaan di atas, manusia hidup dalam ketegangan antara dorongan dari belakang untuk mengisi perut dan tarikan dari depan untuk memuaskan hasrat keinginan. Dalam proses itu, kita berusaha menjalani hidup sehari-hari—bekerja membanting tulang sampai kepala dijadikan kaki, kaki dibikin kepala yang disertai dengan berbagai dalih kesempurnaan.

Apa Itu Kejahatan

Pengalaman sehari-hari menunjukan bahwa sebuah tindakan selalu berdampak kepada dua pihak, diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri sebagai upaya untuk memenuhi dua kebutuhan di atas sebuah tindakan apapun bentuknya adalah logis dan wajar, sudah seharusnya seperti itu. Satu-satunya pertimbangan adalah apakah tindakan itu memberikan solusi efektif atau tidak. Atau apakah tindakan tersebut akan berakibat menghalangi, membatasi, dan merusak pada hal-hal lain atau dalam hal yang sama namun dalam proses waktu yang akan datang. Pada titik ini, teori hedonisme mengambil asumsinya dengan mengatakan bahwa sebuah tindakan akan dinilai baik dan tidak tergantung apakah tindakan tersebut membawa kepuasan atau tidak bagi sang pelaku.

Kendati bagi diri sendiri telah memenuhi kebutuhan biologis dan memuaskan hasyrat psikologis, sebuah tindakan kerapkali membawa konsekuensi menghalangi, membatasi, dan merusak bagi orang lain untuk bertindak sebagaimana diri sendiri. Kita bisa berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan uang sampai jumlah yang tak terbatas. Namun, tindakan seperti itu bisa membuat orang lain mengalami kesulitan untuk mendapatkan penghasilan. Begitu juga kita bisa memuaskan hasyrat sampai tak tak terhingga, namun orang lain bisa jadi merasa tidak aman dan nyaman. Pada titik ini sudah jelas bahwa orang lain adalah pribadi yang sama kondisinya dengan diri sendiri. Kalau kita senantiasa dituntut untuk memenuhi kebutuhan biologis dan kepuasan psikologis demikian juga orang lain. Berdasarkan kenyataan ini teori Utilitarinisme berpendapat bahwa sebuah tindakan akan dikatakan baik apabila tindakan tersebut membawa kebahagian baik bagi diri sendiri juga bagi orang lain. Pepatah mengatakan perlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sebuah tindakan yang berakibat menghalangi, membatasi, dan merusak diri sendiri atau orang lain dikategorikan sebagai kejahatan, sedangkan tindakan sebaliknya dianggap kebaikan? Berhadapan dengan pertanyaan ini kita tak memiliki alasan empirik atau rasional. Adapun fakta bukan merupakan sumber alasan. Fakta adalah demontrasi dari kesimpulan yang sebelumnya telah ditetapkan. Hal ini seperti yang terjadi dalam ilmu matematika, dimana benda adalah demontrasi angka-angka. Kita sudah memiliki bilangan tujuh ditambah tujuh berjumlah empat belas sebelum menghitung tujuh ayam dan tujuh ayam. Satu-satunya dasar bagi penilaian tersebut adalah hati kita mengatakan bahwa tindakan demikian tidak boleh dilakukan. Pernyataan ini hampir senada dengan teori etika Imanuel Kant yang berpendapat bahwa sebuah tindakan akan dipandang baik dan tidak tergantung pada hati yang mengatakan. Barangkali suara hati inilah yang menjadi alasan kita menilai bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan kejahatan atau kebaikan.

 

Sejarah Purba Kejahatan

Konon, Sidharta Gautama mengatakan bahwa kejahatan berawal ketika terciptanya kata aku. Tidak menutup kemungkinan, berkaitan dengan pernyataan ini, akan lahir begitu banyak dan beraneka ragam tafsir baik yang berasal dari tradisi budhisme sendiri atau yang lain. Namun demikian, kalau kita mencoba memahami secara sederhana pernyataan tersebut, paling tidak isi kandungungannya berhubungan dengan tiga permasalahan: cara berpikir, konsep diri, dan peruntukan tindakan. Kesimpulan ini menjadi masuk akal sebab Sidharta secara umum ketika melihat segala sesuatu selalu berangkat dari diri pada tataran dimensi kejiwannnya sendiri. Dengan mencoba menghubungkan ketiga tema ini, permasalahan tentang kejahatan barangkali akan sedikit mendapat gambaran dengan tidak bermaksud menjadikannya sebagai penjelasan defenitif. Ketiga masalah ini kalau bukan penyebab utama bisa dipahami sebagai masalah-masalah yang memiliki hubungan logis dan eksistensial kenapa sampai sekarang fenomena kejahatan tak pernah berkurang dan mungkin selamanya tak akan hilang.

Dengan melihat tiga tema di atas, kita akan melakukan sebuah analisis arkeologis bagaimana seseorang ketika melakukan kejahatan. Sebagaimana dalam pengertian etimologisnya, setiap analisis arkeologis berusaha berangkat dari hal-hal sederhana yang nampak dan kemudian setahap demi setahap berlanjut ke hal-hal kompleks yang tersembunyi dalam kesadaran dan kejiwaan seseorang. Dalam proses analasis, kita akan membutuhkan data sejarah pemikiran dan sosial sebagai sumber kajian. Berdasarkan data tersebut kita akan melakukan interpretasi. Analisis ini barangkali akan lebih tepat kalau disebut arkeologi eksistensial dimana kita mencoba meneliti struktur tindakan manusia mulai dari dimensi fisiologis, pemahaman, dan terakhir dalam dimensi psikologis. Sehingga kalau kejahatan secara real terjadi pada tataran tindakan, maka sebetulnya ia juga terjadi pada tataran pemahaman dan mental. Kita bisa mengatakan bahwa tindakan kejahatan hanyalah efek-efek dari proses kejiwaan diri manusia. Adapun jenis dan modus bagaimana seseorang berbuat jahat adalah manifestasi-manifestasi.

Mode of Thinking

Dalam proses memenuhi dua kebutuhan di atas, manusia memerlukan cara dan arah. Kita kemudian menggunakan kemampuan berpikir. Berkaitan dengan cara, ketiga potensi tersebut berusaha dengan coba-coba menemukan jalan penyelesaian. Adapun berkaitan dengan arah manusia membuat imajinasi-imajinasi tertentu agar dalam menyelesaikan permasalah itu ada kejelasan dan kebertujuan yang kemudian dijadikan standar. Sebagai contoh, kalau perut lapar kita membutuhkan makanan.  Pada awalnya, kita tidak tahu apa yang bisa mengenyangkan perut, sebelum kebudayaan mengajarkan memakan nasi. Dahulu, Orang primitif mungkin mengetahuinya setelah mereka berhasil mencoba-coba secara trail and error. Namun demikian, ketika kita makan ternyata tindakan makan tidak sekedar untuk menutupi rasa lapar: Kita ternyata memiliki keinginan lain, yaitu  makan dengan enak, santai dan nyaman. Pikiran kemudian bekerja untuk mewujudkan keinginan ini. Ia memberikan petunjuk berupa aturan, pedoman dan standar bahwa makan yang baik adalah mengkonsumsi makanan bergiji tinggi, dalam keadaan santai dan ditempat yang bersih. Dengan kata lain, pikiran tak berbeda jauh seperti pancaindera hewan untuk bertahan hidup, misalnya harimau dengan taring dan kuku untuk memburu kijang.

Pada dasarnya, pikiran tidak bekerja secara otomatis atau dengan sendirinya secara alamiah. Sebagai contoh, pikiran dalam merespon stimulus bekerja dengan menggunakan cara-cara berpikir tertentu. Seorang filsuf kontemporer yang bernama Paul Ricoeur menyebutnya sebagai mode of thinking. Hal ini nampak dengan jelas ketika pikiran mengunakan cara identifikasi, kategorisasi, dialektika atau sintesa. Selain itu, Ernest Cassier menjelaskan bahwa pikiran tidak bisa bekerja kalau tidak menggunakan symbol yang bisa berupa isyarat, tanda, atau bahasa. Simbol adalah modus operandi bagaimana proses berpikir bisa terjadi. Konsekuensinya adalah hasil berpikir akan sangat bergantung pada mode of thinking yang bekerja dan simbol yang digunakan. Penggunaan kedua hal ini akan membawa implikasi tertentu pada pemahaman dan bagaimana memperlakukan sesuatu. Adapun mode of thinking dan simbol itu sendiri ternyata bukan sesuatu yang sudah ada dalam pikiran, melinkan hasil temuan bahkan ciptaan yang kemudian melalui proses yang panjang dan kompleks ditanamkan dalam kepala dari generasi ke generasi—meme warisan manusia dari jaman purba yang memiliki karakteristik produktif.

Ada hal yang menarik bagaimana hal terebut dalam prosesnya diciptakan dan ditanamkan. Hal itu adalah bahwa baik dalam proses penciptaan maupun penanaman niscaya berhubungan dengan sejarah, yaitu segala sesuatu yang ada dalam ruang-waktu tertentu, semisal sprit zaman, worldview atau dinamika sosial. Kalau melibatkan sejarah, ada kemungkinan bahwa proses tersebut syarat dengan berbagai kepentingan. Kemungkinan ini dengan jelas telah tercium oleh Nietzsche, Freud atau Foucault yang sama-sama mencurigai bahwa segala sesuatu tercipta dengan menyimpan di baliknya motif kuasa bahkan libido.

Salah satu Mode of Thinking yang kita terima dari warisan zaman dulu adalah logika Aristoteles dimana ia telah melahirkan sejarah peradaban yang panjang. Peradaban klasik adalah buah logika Aristoteles, khususnya pengetahuan manusia. Kendati zaman modern telah mengganti sejumlah asumsi filsafat abad pertengahan, beberapa hal masih menggunakan logika Aristoteles khususnya terkait dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Sebagaimana diketahui, logika Aristoteles terdiri dari empat prinsip utama: identitas, negativitas, kontradiksi dan non alternatif. Prinsip pertama menjelaskan bahwa A adalah A. Prinsip kedua mengatakan A bukan B. Prinsip ketiga, A dan B berbeda serta bertentangan. Prinsip keempat, A dan B tidak mungkin bersamaan pada satu waktu. Logika Aristoteles dengan keempat prinsip ini memiliki karakteristik kejelasan, ketegasan, dan ketertutupan. Dalam hubungan antara A dengan B, keempat prinsip ini melahirkan satu relasi tertentu. Relasi yang lahir adalah keberbedaan, keterpisahan, dan kebertentangan.

Logika Aristoteles di atas telah menjadi kerangka berpikir manusia dalam menjawab dan merumuskan berbagai hal, termasuk menjawab pertanyaan siapa dirinya dan bagaimana harus bertindak. Ia adalah semacam alat bahkan senjata bagaimana sampai sekarang manusia bisa bertahan melanjutkan kehidupan. Ada satu keyakinan yang membuat logika ini bisa bertahan lama sampai sekarang. Dahulu, para filsuf beranggapan bahwa logika adalah sejumlah hukum yang secara esensial bersifat alamiah mengatur bagaimana bekerjanya pikiran, seperti hukum sebab akibat yang menjalam pada alam. Setelah melalui proses sejarah yang panjang dengan perdebatan yang sengit, logika Aristoteles mengalami kritikan sehingga ada cara-cara berpikir lain lahir, misalnya dialektika Hegel.

Kalau kembali kepada pembicaran awal, kita bisa mengatakan bahwa tidak ada keterkaitan logis secara langsung antara logika Aristoteles dengan permasalahan tentang kejahatan. Namun demikian, kalau kita mengkaji secara lebih mendalam dan kritis hubungan kedua permasalahan ini menjadi jelas. Alasan bahwa ada hubungan logis antara logika Aristoteles dan permasalahan tentang kejahatan berdasarkan pada asumsi sederhana. Asumsi tersebut adalah setiap tindakan selalu berdasarkan setiap pemahaman, dan setiap pemahaman selalu terbentuk berdasarkan cara bagaimana seseorang berpikir. Secara lebih spesifik hubungan kedua hal ini akan lebih jelas ketika membicarakan tema konsep diri dan bagaimana seseorang melakukan tindakan tertentu.

Berhala Subjek

Permasalah kedua yang terkait dengan permasalah kejahatan adalah mengenai konsep diri. Konsep ini lahir dari kesadaran individu akan keberadaan dirinya sendiri di dunia. Kesadaran ini adalah kesadaran akan aku. Setiap orang kiranya mengalami kesadaran akan diri. Kesadaran ini lahir misalnya ketika seseorang melihat segala sesuatu di dunia. Ketika melihat gunung seseorang merasakan ketakjuban, keheranan, bahkan kemisteriusan. Karena perasaan-perasaan ini seseorang menyadari bahwa ada sesuatu di luar sana. Kita kemudian berdasarkan kesadaran ini menyimbolkanya dengan nama tertentu. Proses tersebut berlangsung terus menerus dalam setiap gerak manusia. Setelah memiliki kesadaran akan ada dan apanya segala sesuatu yang hadir di hadapan mata, seseorang lama kelamaan memiliki kesadaran lain. Kalau ada sesuatu di sana dan sesuatu itu adalah…maka ada juga yang lain, yaitu yang menyadari. Karena ada kesadaran akan ini maka lahir kata aku untuk menunjuk sesuatu ini. Seseorang selain mampu menyadari akan adanya dunia luar, ia juga mampu menyadari apa adanya itu, bahkan berhasil membuatkannya suatu simbol tertentu. Demikian halnya yang terjadi dalam kesadaran seseorang akan dirinya sendiri. Ia mulai berpikir tentang apa adanya ini. Seseorang kemudian bertanya kalau di sana ada sesuatu dan sesuatu itu adalah….maka ada sesuatu di sini yang melakukan kesadaran akan itu, lalu siapakah sesuatu yang ini itu. Kita membuat rumusan bahasanya menjadi kalau ada sesuatu di sana dan yang disana itu adalah a misalnya, lalu apakah aku ini. Pertanyaan siapakah aku adalah perwujudan akan adanya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kesadaran akan diri adalah sesuatu yang naluriah sehingga bisa dianggap wajar. Seseorang akan selalu mengalaminya tanpa tak terkecuali. Pertanyaanya, kalau kesadaran ini adalah sesuatu yang wajar kenapa kejahatan dikatakan berawal dari kesadaran ini? Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kesadaran akan diri selalu berlanjut kepada kesadaran lain yaitu kesadaran akan apanya diri itu sendiri. Dari kenyataan ini barangkali persoalannya menjadi jelas bahwa kejahatan berawal bukan atas dasar kesadaran akan diri melainkan kesadaran akan diri tertentu. Kesadaran ini adalah adalah kesadaran akan apanya diri itu sendiri. Kesadaran akan apanya diri berhubungan dengan pengertian akan diri, ke-apa-annya diri, esensi. Dalam konteks ini seseorang telah membuktikan mampu mendefenisikan dirinya sendiri. Sehingga sejumlah rumusan tentang apa diri itu sendiri telah lahir dengan dengan beraneka ragam penjelasan yang kerapkali satu sama lain bertentangan. Konon, seluruh upaya seseorang ketika berfilsafat adalah untuk menjawab diri sendiri. Jadi permasalahannya terletak pada sejumlah pengertian dan teori tentang siapakah diri.

Kita hidup dalam suatu  zaman yang dikenal dengan sebutan zaman modern. Pepatah mengatakan “manusia adalah anak sang waktu. Berdasarkan pernyataan ini zaman modern telah mempengaruhi tak dapat dipungkiri setiap upaya mendefenisikan kesadaran ke-apa-an diri. Pertanyaan sederhananya adalah pendefinisian diri seperti apakah yang telah dilahirkan oleh zaman modern?

Salah satu yang menandai zaman modern adalah gerakan humanisme yang lahir pada paruh abad ke 15 M. Gerakan humanisme tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi kehidupan abad pertengahan yang telah mengkungkung seluruh aspek kehidupan manusia. Kondisi ini mengakibatkan manusia tidak memiliki keleluasaan untuk memahami dan memperlakukan dirinya sendiri. Setiap orang merasa dirinya begitu diawasi dan dikendalikan oleh kekuatan gereja. Kondisi ini mencapai klimaksnya dengan pembunuhan oleh para inkuisisi gereja terhadap sejumlah para pemikir dan ilmuan seperti Galileo atau Bruno.

Gerakan  humanisme muncul setelah ada kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap semua dominasi gereja. Kesadaran ini tumbuh setelah terjadi gerakan renaisance dimana mereka menemukan dalam tradisi leluhur yakni kebudayaan Yunani dan Romawi suatu sikap menjungjung tinggi martabat dan nasib manusia. Spirit ini menjadi tuntutan dan tujuan yang melandasi gerakan humanisme. Gerakan humanisme adalah perlawanan dan pemberontakan manusia untuk menemukan dan menentukan nasibnya sendiri. Sudah barangtentu bahwa dimensi-dimensi emosional sangat kental dalam proses gerakan ini seperti, kemarahan, kebencian, kecurigaan, bahkan balas dendam. Dalam kondisi ini kehidupan berada dalam konflik. Ketika seseorang mengalami konplik maka ia akan melakukan penegasan secara radikal siapa dirinya dan harus bagaimana dia menghadapi penindasnya. Penegasan ini begitu sangat penting karena seseorang membutuhkan kekuatan batin dan kepastian pikiran untuk dijadikan pegangan ketika melakukan perlawanan. Sejumlah pemikiran lahir sebagai upaya untuk melakukan perlawanan yang berbentuk, arti, nilai dan aturan.

Adapun pemikiran gerakan humanisme terdiri dari tiga hal pokok: pertama, kehidupan dunia pada dirinya sendiri adalah berharga: kedua, manusia memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan nasib dirinya sendiri: ketiga, akal pikiran adalah satu-satunya alat untuk menemukan kebenaran dan mewujudkan kebahagiaan. Semboyan terkenal dari ketiga pemikiran humanisme ini adalah liberte, egalite dan paternite.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah signifikansi gerakan humanisme tersebut dalam usaha manusia merumuskan dan memperlakukan dirinya sendiri? Signifikansi gerakan humanisme terletak dalam asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk merumuskan dan menentukan dirinya sendiri. Pemikiran ini memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk otonom yang cukup diri. Dalam dirinya sendiri, manusia secara potensial telah memiliki berbagai kemampuan yang tak terbatas untuk mencukupi kebutuhan dan menyelasaikan sejumlah persoalan yang datang dari alam. Manusia memang menyadari bahwa dirinya tak melapaskan diri dari hukum. Akan tetapi hukum-hukum yang mengatur alam tersebut dapat diketahui dengan pasti sehingga tidak menjadi persoalan bagi manusia untuk bertindak sesuai dengan kehendak dirinya selagi mengikuti aturan bagaimana alam sendiri bekerja. Dalam pemikiran ini alam kendati bekerja dengan hukumnya sendiri adalah sarana atau bahan untuk memenuhi semua kebutuhan manusia.

Konsep manusia ala pemikiran humanisme di atas membawa konsekuensi mendalam pada bagaimana setiap individu memahami dan memperlakukan dirinya sendiri serta orang lain. Konsep manusia ini telah membentuk pribadi-pribadi yang yang mandiri, dingin bahkan narsis. Setiap individu merasa bahwa dirinya memiliki kebebasan dan kemampuan untuk memenentukan jalan hidupnya sendiri, tak membutuhkan pertolongan orang lain. Seseorang tak memiliki kepekaan jiwa ketika melihat orang lain mengalami kesusahan, karena pada dasarnya kesusahan tersebut diakibatkan oleh dirinya sendiri yang merupakan akibat dari sebab yang telah dilakukan. Ketika nasibnya berada di atas entah dalam kekayaan material, ketenaran atau kekuasan, setiap individu merasa bahwa kenyataan tersebut adalah hasil usaha dirinya sendiri, tidak memiliki hubungan sedikitpun dengan bantuan tangan orang lain. Kalau pada kenyataannya, setiap individu satu sama lain saling bergantung, namun kebergantungan itu dilakukan bukan atas dasar kemurah hatian, akan tetapi karena ada kepentingan bersama dimana satu sama lain membutuhkan. Relasi yang terjadi dalam kondisi ini adalah relasi ekonomi, dimana setiap bantuan selalu meniscayakan pertukaran dan timbal balik yang bisa berupa barang atau jasa. Dalam relasi ini ketulusan hati tidak ada. Setiap kebaikan yang dilakukan selalu tidak menuntut balas budi. Logika yang berlaku adalah logika kesetimpalan dimana untung rugi menjadi satu-satunya standar pertimbangan.

Kalau kembali kepada permasalahan mode of thinking, konsep manusia yang tercermin dalam pemikiran humanisme di atas tak bisa dilepaskan dari  prinsip logika Aristoteles, khusunya hukum identitas, yaitu A adalah A. A sudah dengan sendiri menjadi A tak membutuhkan B. A pada dirinya sendiri adalah sempurna tanpa cacat. Manusia pada dirinya sendiri adalah kecukupan tanpa kekurangan. Dalam usaha menjawab siapakah aku, berdasarkan tiga prinsip logika Aristoteles adalah jelas. Aku adalah aku. Aku bukan Engkau. Aku tidak mungkin menjadi Engkau pada saat yang bersamaan. Aku dan Engkau adalah dua sosok yang terpisah, berbeda dan berkontradiksi. Aku dan engkau bersaing dan berlawanan.

Ada karakteristik yang sama antara logika Atistoteles dengan kondisi psikologis manusia pada saat itu, yakni keterpisahan, keberbedaan dan pertentangan. Karakteristik-karakteristik ini melahirkan sikap yang bernuansakan penuh dengan ketegasan dan penegasian. Ketika aku adalah aku dan bukan engkau maka aku harus menegaskan Aku-Ku dan Menegasikan Engkau. Sejumlah kategori untuk menegaskan ke-aku-an dengan sendirinya terciptakan. Aku harus membuat istilah untuk menegaskan aku. Setiap bahasa baik yang bersifat memaknai atau menilai adalah bentuk dari penegasan akan ke-akuan-ku dan menegasikan akan Ke-Engkauan-Mu. Aku benar, baik, atau bagus tak lain adalah ungkapan-ungkapan untuk menegaskan ke-Akuan-ku.

Dalam konsep manusia yang berdasarkan logika Aristoteles di atas terselip satu karakteristik subjek yang mendasar lain, yaitu ketertutupan. Aku adalah pribadi yang tertutup bagimu dan kamu adalah sosok yang tertutup bagiku. Aku dengan diriku sudah mencukupi pada dirinya sendiri sehingga tidak membutuhkan kamu. Sebaliknya, Engkau tidak bergantung sedikitpun pada aku. Aku adalah aku sehingga kalau kamu memasuki esensiku aku akan menolak dan kalau memaksa aku akan melawan Enkau. Demikian juga, kalau aku tidak perlu peduli kepada Enkau dan kalau aku bersih kukuh engkau akan pasti menampik Aku.

Pengertian subjek ala humanisme di atas pada perkembangan selanjutnya menjadi lebih jelas dan kukuh dalam rumusan filsafat Rene Descartes. Rene Descartes memang tidak secara spesifik berbicara tentang filsafat manusia. Renungan filosofisnya lebih terpusat pada permasalahan pengetahuan dan akhirnya berujung pada penelaahan tentang khakikat realitas. Namun demikian, rumusan tentang realitas membawa konsekuensi logis terhadap kajian filsafat manusia, karena tak dapat pungkiri manusia adalah bagian dari realitas itu sendiri.

Secara umum ada dua pemimikiran Rene Descartes yang memiliki hubungan dengan filsafat manusia. Pertama, Rene descartes meyakini bahwa khakikat manusia adalah pikiran dan badan harus dipandang sebagai keluasan. Kedua, Rene Descartes merumuskan bahwa kesadaran mengetahui distrukturkan oleh hubungan subjek dan objek. Pikiran adalah subjek dan keluasan adalah objek. Sedangkan makna sesuatu bersumber pada dan ditentukan kutub subjek.

Berdasarkan asumsi pertama kita bisa menyimpulkan bahwa dalam konteks personal, seorang individu adalah pikirannya sendiri. Orang lain harus dipandang sebagai keluasan dari pikiran tentang orang lain. Hakikat orang lain adalah sejauh apa yang telah ada dalam pikiran, tak akan keluar. Engkau adalah ideaku tentang Engkau. Sedangkan berdasarkan asumsi kedua, karena subjek adalah satu-satunya penentu maka seorang individu memaknai hakikat orang lain sebagaimana mereka memahami. Dalam konteks praktis subjek adalah seorang pribadi yang memiliki kepentingan. Karena sebagai objek orang lain adalah sasaran dan alat untuk kepentingan-kepentingan aku. Orang lain tidak diperlakukan sebagaimana mereka menginginkan.

Pada akhirnya, setiap individu menjadi saling mengobjekan demi kepentingan pibadinya masing-masing. Manusia berada dalam kondisi perang total untuk saling menundukan, homo homini lupus kata John Stuart Mill. Hubungan antara manusia terlihat menjadi sangat negatif. Jean Paul Sartre mengatakan heel is the other, orang lain adalah neraka. Pernyatan ini jelas menunjukan bagaimana orang lain dipahami oleh setiap individu dan diperlakuan sebagai sesuatu yang mengancam. Karena orang lain bisa membunuh eksistensiku sebagai subjek maka aku harus berebut untuk bisa mengalahkan sehingga aku akan tetap menjadi subjek dan orang lain akan menjadi objek kepentingan aku.

 

Individualisme

Berdasarkan kenyataan di atas, kita bisa memahami kenapa manusia dalam jaman modern memiliki sifat indidualistik. Dalam sifat individualistik, seseorang melakukan sesuatu senantiasa diperuntukan hanya demi kepentingan diri sendiri. Segala sesuatu selalu berorientasi bagi keuntungan dan kemanfaatan sang aku baik untuk memenuhi kebutuhan biologis atau untuk memuaskan hasyrat keinginan. Diri sendiri adalah logos dan telos dari semua aktivitas hidup. Aku adalah motif dan tujuan bagi seluruh tingkah laku-ku.

Pada peristiwa tertentu, kita tak dapat menutup mata bahwa ada satu tindakan yang seolah-olah dilakukan untuk kebaikan orang lain. Tindakan ini secara sepintas kelihatan mulia. Namun, kalau kita mau jujur, apakah benar tindakan tersebut bagi orang lain, bukan diri sendiri. Kita harus mengakui tenyata ada kepentingan tertentu yang sifatnya pribadi, terselip. Nietzsche menyakini bahwa tindakan baik seseorang selalu disertai kepentingan untuk mengusai. Kita melakukan sesuatu dengan di baliknya menyimpan secercah harapan. Kenyataan ini menjadi jelas ketika kita mencoba menghubungkannya dengan masalah balas budi. Seseorang akan merasa senang kalau orang yang diberikan kebaikan membalasnya dengan kebaikan. Sebaliknya, ada penyesalan bahkan kekecewaan ketika orang yang menerima kebaikan tersebut membalasnya dengan kejelekaan.

Pada dasarnya, ketika semua tindakan selalu berorientasi untuk kepentingan diri sendiri, seseorang secara tidak langsung telah memposisikan orang lain sebagai benda dan alat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan pribadi. Sikap ini barangkali ada keterkaitan dengan kebiasan berpikir kita yang oleh Hannah Arendt disebut teckhne of thinking: memperlakukan manusia sama seperti terhadap alat-alat teknologi. Orang lain adalah pelayan yang harus taat memenuhi semua kepentingan seseorang. Padahal, kita sepakat bahwa manusia adalah mahluk hidup yang berarti bahwa setiap individu memiliki hak dan kedaulatannya masing-masing. Keyakinan ini adalah asumsi dasar bagi keyakinan lain bahwa manusia pada khakikatnya adalah sama sebagaimana tercamtum dalam hak-hak asasi manusia.

Konsekuensi mengerikan dari sikap di atas adalah setiap orang saling memperlakukan yang lain sebagai benda dan alat. Ada pertarungan ketika setiap orang berusaha memperjuangkan dirinya sendiri, subyek. Sebagai bagian dari pertarungan, konfik tak pelak lagi tak terhindari. Dalam kejadian ini hukum surfivle of the fiftest berlaku, yang kuat dia yang menang. Adapun orang yang mencoba menghindar dari arena pertarungan bernasib tak lebih baik dari yang kalah. Ranggawarsito mengatakan: “amenangin jaman edan ewuh ing pambudi, melu edan ora tahan, yentanmelu…”. Hidup dalam dalam edan.

Untuk melegitimasi sikap di atas, kita berapologi bahwa hidup adalah kompetisi. Setiap orang harus berlomba mengejar untuk memenuhi kebutuhan pribadinya masing-masing. Sikap itu adalah keharusan kalau seseorang menginginkan kesuksesan. Ia menjadi menjadi sumum bonum, kebaikan tertinggi. Adapun pihak yang kalah memang sudah seharusnya kalau terpingirkan dan menderita. Adalah hal yang mustahil dalam kondisi itu kalau seseorang sempat berpikiran untuk saling memberikan kesempatan bagi yang lain untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, setiap orang saling menjegal jalan yang lain kalaupun harus dengan kekerasan atau kelembutan yang memperdayakan.

Ada satu hal yang delematis dalam kondisi manusia di atas, yaitu penujungkirbalikan nilai. Nilai kemanusian yang pada awalnya diagung-agungkan dan diperjuangkan dengan mati-matian telah dikhianati dan dinodai. Manusia yang pada awalnya selalu didefenisikan sebagai makhluk hidup pada kenyataannya diperlakukan sebagai benda mati. Ketika orang lain diperlakukan sebagai alat bagi kepentingan diri sendiri yang terjadi adalah membunuh nilai kemanusian dengan memposisikannya tak lebih seperti memperlakukan alat-alat teknologi. Dalam kondisi ini pembunuhan bukan hanya terjadi secara fisik bahkan secara esensial. Manusia memang bertindak dengan memakai aturan baik yang berasal dari kesepakatan, norma atau agama. Namun, ketataan pada aturan itu diperlakukan sebagai suatu aturan permainan dimana aturan harus memuluskan bagi keuntungan dari kepentingan seseorang, yaitu sang Aku.

 

Sumber Rujukan:

Loren Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, 2002.

Calvin S. Hall, Sigmund Freud, Pustaka Sarjana, 1980.

Frank G. Goble, Psikologi Humanistik Abraham Maslaw, Kanisius, 1987.

A. Mundiri, Logika Dasar, Rajawali Pres, 2004.

Donald B. Calne, Batas Nalar, Gramedia, 2005.

Micheal Polanyi, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan, Gramedia, 2001.

Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani Klasik, Kanisius, 1999.

______________ , Filsafat Kontemporer; I&II, Gramedia, 2001.

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, 2004.

__________________ , Memahami Negativitas, Gramedia, 2005.

Adelbert Sneidjers, Manusia antara Paradoks dan Seruan, Kanisius, 2007.

M.A.W. Brower, Manusia dalam Alam fenomenologi, Gramedia, 1988.

Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Kanisius, 1996.

_____________________ , Humanisme dan Humaniora, Jalasutra, 2009.

Mathias Hariyadi, Membina Hubungan Antarpribadi, Kanisius,1994.

Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, 2007.

Leave a comment