Media Agama: Suatu Telaah Sederhana | Verstehn #6

Oleh: Faridz Yusuf

SECARA UMUM, jika seseorang hendak berdialog langsung dengan yang lain, maka keduanya niscaya bakal bercakap sambil menatap wajah. Keduanya selain akan terhubung secara bahasa, juga bakal saling bertukar ekspresi. Dalam dialog itu, wajah kemudian jadi penanda bagi terhubungnya relasi antarmanusia yang sebelumnya diputus jarak geografis.

Selain itu, wajah yang punya kemampuan lebih dari 7.000 ekspresi, bisa dengan tangkas menyembunyikan keasliannya. Sebab wajah, siapapun lalu menaruh curiga, membentuk tafsir. Nampaknya, wajah semacam cermin ontologis: representasi simbolis agar yang lain bisa mengidentifikasi ke dalam fakta diri yang paling mungkin objektif. “Wajah,” kata Anthony Synnott, “selain publik, juga privat dan intim.”

Bagaimana wajah media agama? Apa dasar ontologisnya sehingga ia tampil dalam ekspresi teologisnya demikian? Terlepas dari persoalan sejarah pemaknaan manusia pada wajah, penulis hendak mengurai metaekspresif dari wajah media sebagai bagian dari wajah Islam berekspresi.

Dakwah

Dakwah, bagi agama, memiliki posisi penting. Ia merupakan bagian dari pengkabaran ajaran ke seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dakwah kemudian bermetamorfosa dalam bentuk-bentuknya yang amat beragam, termasuk media cetak. Beberapa dekade ini, dakwah media cetak (Dakwah bil Al-Qalam) cukup menjadi trend tersendiri.

Di Indonesia khususnya pasca-reformasi, media sebagai dakwah bermunculan sporadis. Hidayatullah, Sabili, Percikan Iman, An-Nida’, Tarbawi, Al-Wai’e, Syir’ah dan lainnya, serta model impor seperti Islamika dari ISTAC Malaysia. Media dakwah tersebut muncul dalam karakternya yang berbeda-beda. Mulai dari wilayah sastra, problema keluarga, hingga secara khusus ke wilayah kajian pemikiran dan peradaban Islam. Ini merupakan bukti bahwa media jadi bagian penting dalam menyebarkan berbagai pandangan keagamaan. Media dakwah kemudian tampil menjadi bagian dari bagaimana wajah Islam terpancar.

Dalam Islam, dakwah atau menyeru atau mengkabarkan keimanan, merupakan bagian dari ajaran itu sendiri. Hal ini dapat dengan mudah ditemukan dalam nash Kitab Suci. Misalnya, dalam Surah Ali Imran 104, bahwa jadilah segolongan umat yang menyeru pada kebaikan dan mengatasi kemunkaran, dengan tujuan supaya beruntung. Dengan demikian, menyeru, dakwah dan pengkabaran adalah bagian dari ajaran itu sendiri: bagian dari tindakan iman.

Dalam tulisan ini, yang bakal dilihat adalah wajah Syir’ah. Khususnya pada edisi paruh akhir 2004 hingga paruh awal 2005. Seperti yang telah dikemukakan di awal, selain wajah aktif membuat ekspresi yang terhubung dengan gagasan ontologis di baliknya. Pada asumsi itu, maka wajah media juga memuat ekspresi dan menyimpan petanda ontologis di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat yang sama, media juga memberikan suatu model kategoris tentang wajah agama.

Menurut penulis, identifikasi Islam dalam wajah Syir’ah terdapat dari ragam rubriknya. Penulis melihat, rubrik Syir’ah “Profil” adalah Model Mimik dan rubrik “Kajian” merupakan Model Ontologis-nya. Meski rubrik Syir’ah lainnya menarik, penulis hanya akan membatasi pembicaraan di kedua ranah rubrik tersebut.

Apa yang dimaksud penulis dengan Model Mimik adalah model ekspresif wajah media. Ini adalah salah satu ekspresi di mana ide, pernyataan sikap, dan tafsir ternyatakan dalam sebuah model. Dan artis, bagaimanapun, untuk ukuran zaman ini, tak ubahnya sebagai idol, semacam totem bagi masyarakat.

Sedangkan Model Ontologis adalah gagasan yang mendasari mengapa bentuk ekspresi sesuatu dianggap memadai. Artinya, Model Ontologis ini adalah landasan argumentatif sehingga suatu ekspresi berdasar pada alasan-alasan yang kuat, atau bahkan bisa jadi, merupakan bagian dari ajaran agama itu sendiri yang terbiaskan karena bentukan sejarah oleh aparatus kuasa pengetahuan. Model Ontologis adalah semacam Raison d’Etre.

Jika kemudian kedua model itu ditarik ke wilayah semiotis, maka akan jelas terlihat bahwa Syir’ah adalah tanda (Sign), Model Mimik adalah Penanda (Signifier), dan Model Ontologis itu adalah petandanya (signified). Kita mulai dari kerangka semiotis ini.

Model Mimik

Seperti yang dapat kita simak bersama, dalam kehidupan masyarakat, agama merupakan latar sakral sosial. Agama merupakan bagian intim yang membangun masyarakat berkomunikasi secara sosial. Dan keadaan sosial juga merupakan sebuah ‘pertimbangan lain’ yang memberi sumbangsih besar bagaimana masyarakat, juga individu, dalam memaknai antara dogma dan fakta keberagamaan.

Di dalam sebuah media, publik figur merupakan magnit ajaib. Kehidupan artis, misalnya, menjadi bahan dasar bagi permodelan kepada pembaca. Hal serupa juga ditampilkan Syir’ah, hanya saja karena media ini berbasis agama, maka kehidupan artispun dikupas ke wilayah intim itu. Dalam hal ini, artis kemudian jadi lisan tafsir lain tentang dogma dan fakta keberagamaan.

Hal ini akan terlihat dari beberapa edisi Syir’ah yang menjadikan Artis sebagai headline. Misalnya, Syir’ah No. 34/IV/2004: “Shahnaz Haque: Bergaul Tak Harus Seagama”, Syir’ah No. 35/IV/2004: “Muhammad Farhan: “Bukan Tuhan yang Dibela, tapi Ajaran-Nya”, Syir’ah No. 40/V/2005: “Najwa Shihab: Terhormat Meski Tanpa Jilbab”.

Termasuk di dalamnya yang secara tak langsung menggunakan artis sebagai headline. Ini terdapat dalam Syir’ah No. 31/IV/2004: “Jurus Mubalig di Musim Politik” dengan mengangkat artikel “Abidah El-Khaleiqy: Menggugat Agama Lewat Sastra”. Kemudian Syir’ah No. 37/IV/2004: “Anak Zaman Menerobos Batas” dengan artikel “Maia Ahmad: Tasawuf itu Sangat Menakjubkan”. Lalu Syir’ah No. 38/V/2005: “Panasnya Undang-undang Pornografi” dengan artikel “Surya Saputra: Islam Tak Pernah Memaksa”. Juga Syir’ah No. 41/V/2005: “3 Santri Pendobrak Tabu Seks” dengan artikel “Irfan Hakim: Saya Suka Ulama Moderat”. Semua ini hadir dalam rubrik “Profil” dalam Syir’ah.

Dengan demikian, artis merupakan model penyampai pesan. Artinya, seperti yang telah disebutkan di atas, ini merupakan Model Mimik dari wajah Syir’ah tentang Islam. Kehidupan artis kemudian diambil jadi model bagi Syir’ah untuk menyampaikan suatu fakta real dan bagian dari kehidupan masyarakat untuk bercakap soal agama. Sebab tentu saja, artis adalah bagian dari masyarakat dan kehidupan beragama.

Bagi Shahnaz Haque, dalam Syir’ah No. 34/IV/2004: “Shahnaz Haque: Bergaul Tak Harus Seagama”, meyakini bahwa harus dibedakan mana prinsip kehidupan sosial dan mana prinsip kehidupan keagamaan, namun dalam bergaul dan bekerja tak diwajibkan harus seagama. Hal ini bisa kita mengerti dari latarnya sebagai Aktivis: Departemen Kelautan dan Perikanan, Gerakan Anti-Narkoba (GRANAT), Nurani Dunia, Duta Pekerja Anak dari International Labour Organization (ILO) sejak 2003. Menurutnya, umat Islam dianjurkan untuk belajar dari non-muslim karena mesti diakui orang Yahudi, misalnya, punya kepandaian yang lebih. Ia sedih melihat umat Islam yang saling menjatuhkan dan menjahati. “Yang paling saya benci kadang-kadang mereka membawa-bawa otoritas Tuhan untuk kepentingan diri sendiri dan golongan,” katanya.

Dari pengalamannya yang kerap bersentuhan dengan berbagai individu, ia kemudian menyadari sesuatu yang penting sebagai perempuan. “Bagi saya, jilbab itu adalah pakaian. Untuk memahami menjadi baik dan kemudian dengan tulus mengenakan jilbab bagi saya adalah hal yang luar biasa. Saya menghargai orang yang tidak mengenakan jilbab namun belajar agama dengan baik dan ujungnya dia dengan ikhlas memutuskan untuk berjilbab.” Ia prihatin melihat jilbab telah merosot jadi alat bagi peminta-minta di jalanan. “Secara tidak langsung,” ungkapnya sedih, “wajah dan citra Islam dikenal sebagai agama yang suka meminta-minta.”

Hal yang sama juga dikemukakan Maia Ahmad. Dalam Syir’ah No. 37/IV/2004: “Anak Zaman Menerobos Batas”, Maia berkata bahwa “Bagi saya, yang pertamakali dijilbabi mesti hati terlebih dahulu. Kalau hatinya sudah jelek meski dijilbabi tetap sama saja. Menurutku, jilbab merupakan budaya yang datang dari tanah Arab. Bunda Maryam  juga pake jilbab tapi apa dia orang Islam? Namun itu bukan berarti kita bisa bebas untuk menunjukkan aurat. Hati dululah yang dijilbabi.”

Ibu dari ketiga anaknya yang mengambil nama tokoh besar para sufi ini juga menjelaskan bahwa, “Dunia tasawuf sangat menyegarkan kehidupanku, tidak seperti dalam Syari’at yang hanya memberikan ketakutan dan imbalan pahala. Pada dasarnya kita menyembah Tuhan bukan dikarenakan takut neraka ataupun ingin mendapatkan imbalan surga, namun pada kecintaan pada Allah semata dan kita ingin mendapatkan ridha-Nya.”

Beda dengan kedua perempuan di atas, Abidah El-Khaleiqy menyatakan kegelisahannya melalui karya Sastra. Karyanya, Geni Jora, yang menyabet pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003, merupakan media praksis baginya untuk menyatakan pemikirannya. Dalam Syir’ah No. 31/IV/2004: “Jurus Mubalig di Musim Politik”, dengan santer ia mengatakan bahwa, “Di semua ilmu pengetahuan: filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya, kita akan menemukan perempuan diposisikan tidak pada posisi sebenarnya.”

Dalam karyanya Perempuan Berkalung Sorban, Abidah mengambil latar pesantren untuk mengungkap ketidakadilan sikap atas perempuan. Hal ini, menurut akunya, dilatari inspirasi dari Abdul Qadir Hasan yang menanamkan Sastra, selain ia kemudian menjadi Mahasiswi IAIN Sunan Kalijaga. Perempuan yang juga Bibi Emha Ainun Najib ini, karena cetusan pemikiran dalam karya-karyanya yang Feminis, ia konon kerap disebut sebagai Nawal El-Sadawi-nya Indonesia.

Fakta keagamaan dari ketiga perempuan di atas hendak menyatakan bahwa kehidupan senantiasa membuat seseorang bersentuhan dengan macam bentuk komunitas, juga ragam keyakinan. Oleh dasar itu, maka perlakuan menerima yang lain—baik bersifat ras, gender, juga tafsir agama—merupakan perkara penting sebagai bagian dari kehidupan. Bahkan melihat fakta keberagamaan yang dihegemoni oleh sekelompok orang-orang keras, Muhammad Farhan secara lebih tegas tak menyukai tindakan beragama yang intoleran.

Dalam Syir’ah No. 35/IV/2004: “Muhammad Farhan: “Bukan Tuhan yang Dibela, tapi Ajaran-Nya”, Farhan mengisahkan bahwa tiap Juma’tan di Masjid dekat rumahnya, ia terkadang sedih dengan isi ceramah yang disampaikan. “Hancurkan Amerika, hancurkan Israel, kenapa mesti begitu,” katanya. Ia memang anti Israel, tapi tindakan pemboman Palestina terhadap Israel tidak bisa dibenarkan: sama-sama melakukan tindakan kekerasan.

Kehidupan Farhan di dunia broadcast dan entertainmentAsistant Music Director di radio KAL CBS, penyiar radio Mustang dan Hard Rock, hingga presenter talk show di berbagai Stasiun TV Indonesia—membuatnya mengerti bahwa, “Ngapain Tuhan dibela, orang Dia sudah Mahakuasa. Membela ajarannya itu adalah dengan mempraktikkannya secara benar. Dengan menunjukkan jalan bahwa Islam adalah agama damai dan bukan cara-cara kekerasan.”

Rupanya Farhan juga cemas melihat fakta keberagamaan, khususnya Islam. Ia cemas karena ia faham bahwa Nabi merupakan sosok yang sungguh menghargai dan mencintai manusia. Farhan mengatakan dengan tegas bahwa, “Sekarang umatnya main tuduh saja terhadap yang lainnya dengan mengatakan sesuatu yang tidak ada benarnya. Enak saja, apakah mereka adalah orang yang telah mewakili Islam.”

Dari sekian pernyataan publik figur di atas, dapatlah dimengerti bahwa fakta keberagamaan punya penyikapan yang berbeda dengan arus mainstream. Oleh karena itu, artis sebagai bagian dari masyarakat dan bagian dari kehidupan, maka merekapun adalah tafsir lain dalam mempercakapkan keberagamaan. Dapat diartikan juga, karena artis adalah bagian dari masyarakat, figur masyarakat, maka sikap artis itu sendiri adalah sikap real lain dari sebuah individu masyarakat.

Sikap anti-kekerasan, beragama yang substantif bukan pada bentuk, toleransi, sikap terbuka, dan lain sebagainya, merupakan sikap yang tercermin dari pernyataan sejumlah publik figur di atas. Melalui media artis sebagai totem masyarakat, Syir’ah menampilkan ekspresi manusia yang majemuk. Imbasnya, keyakinan yang transenden berhadapan dengan realitas plural harus punya sikap kemanusiaan yang imanen. Ini merupakan cerminan dari jargon Syir’ah sendiri: “Mengurai Fakta – Menenggang Beda”. Di sini, artis sebagai totem laiknya juru dakwah yang intens bersentuhan dengan masyarakat untuk bercakap soal agama sebagai yang taboo.

Tentu ini bukan saja sebagai fakta bahwa hidup memang berhadapan dengan hal-hal demikian, ini menyisakan soal: gagasan apa yang melandasi sikap teologis itu?

Model Ontologis

Sebagaimana yang telah dikemukakan penulis, Model Ontologis dalam Syir’ah ini terlihat dari rubrik “Kajian”. Rubrik ini berisi artikel yang membicarakan tokoh tertentu dengan model pemikirannya. Sepanjang paruh akhir 2004 hingga paruh awal 2005, Syir’ah menampilkan tokoh-tokoh dari berbagai disiplin. Tokoh tersebut kemudian dikupas kecenderungan pemikirannya dalam memaknai agama.

Dalam Syir’ah No. 31/IV/2004: “Jurus Mubalig di Musim Politik” dengan artikel “Amin Al-Khuli: Guru dan Peletak Dasar Metode Tafsir Sastrawi Al-Qur’an”. Dalam Syir’ah No. 34/IV/2004: “Shahnaz Haque: Bergaul Tak Harus Seagama” diangkat artikel “Mohammed Arkoun: Sejarawan-Pemikir Islam”. Kemudian Syir’ah No. 35/IV/2004: “Muhammad Farhan: “Bukan Tuhan yang Dibela, tapi Ajaran-Nya” terdapat artikel “Laela Ahmad: Mengorek Sejarah Patriarki dalam Islam”. Lalu Syir’ah No. 38/V/2005: “Panasnya Undang-undang Pornografi” dengan artikel “Adonis: dengan Sastra Menggugat Sakralitas Tuhan”. Juga Syir’ah No. 39/V/2005: “Kaum Metro Memburu Taubat” dengan artikel “Ali Harb: Menggugat Klaim Kebenaran Agama”. Selanjutnya Syir’ah No. 40/V/2005: “Najwa Shihab: Terhormat Meski Tanpa Jilbab” dengan artikel “Farid Essack: Menafsirkan Al-Qur’an dengan Tindakan”. Serta Syir’ah No. 41/V/2005: “3 Santri Pendobrak Tabu Seks” dengan artikel “Ibnu Rusyd: Mendamaikan Akal dan Wahyu”.

Siapakah mereka? Apa yang mereka gagas untuk bicara soal agama? Kenapa mereka menjadi penting untuk didakwahkan? Apakah keadaan masyarakat kita membutuhkan pemikiran mereka? Pertanyaan masih bisa dideretkan, dan Syir’ah memberi penjelasan. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mengetengahkan beberapa orang saja.

Kita mulai dari Ali Harb. Syir’ah No. 39/V/2005: “Kaum Metro Memburu Taubat” dengan artikel “Ali Harb: Menggugat Klaim Kebenaran Agama”. Di sana secara gamblang dikemukakan, bahwa “Adalah Ali Harb seorang pemikir-filosof berkebangsaan Lebanon yang mencoba masuk ke jajaran elit intelektual Timur Tengah. Dengan platform pemikiran “serba kritik”, mulai dari Kritik Nalar, Kritik Teks, hingga Kritik Kebenaran (Naqd al-‘Aql, Naqd al-Nash, Naqd al-Haqiqah).”

Beliau membuka proyek baru bagi teks sebagai kajian dan pemikiran. Maka, teks bukan suatu yang telah utuh, beridentitas murni tetapi beragam ihwal. Di sini tersedia kritik atas teks, sehingga bisa juga menjadi kritik atas tafsir tunggal (Ahadiyat al-Ma’na atau Monosemi). “Monosemi adalah penipuan pada tataran epistemologis,” kata Ali Harb.

Paling tidak, imbas ini dituturkan dalam tiga poin: Pertama, tak ada pembaca teks yang memahami maksud pengarang secara total, karena teks selalu melampaui maksud pengarang atau melebihinya. Kedua, tak ada pembaca yang menangkap kebenaran teks, karena teks bukan penjelasan kebenaran tetapi merupakan wilayah perbedaan dan penuh dengan kontradiksi. Ketiga, teks yang tunduk pada takwil selalu bertujuan mengubah, menukar, atau mengganti. Karenanya teks tak bisa dipahami secara jelas dan bersesuaian sehingga tiada ketakjelasan di dalamnya. Karena pemahaman pada dasarnya berada dalam wilayah imajinasi dan irasionalitas. Inilah yang menjadi kelebihannya, karena dengan demikian pembacaan terhadap teks tidak akan pernah menemukan titik akhir.

Dengan kalimat-kalimat ini, Tedi Kholiluddin (penulis artikel ini, PimRed Jurnal Justisia IAIN-Walisongo, Semarang) memerinci penjelasannya. “Ali Harb melihat, bahwa Negara, dengan mengklaim kebenaran tunggal versinya, memiliki peluang untuk menjadi lembaga hegemonik yang setiap saat dapat menciptakan wacana tunggal menurut versinya. Karenanya kritik terhadap kebenaran negara mutlak dilakukan sebagai bagian dari upaya relativisasi produk negara.”

Ada soal: maka apakah kebetulan belaka jika Syir’ah melalui Model Mimik artis yang menyatakan anti-kekerasan, anti-eksklusifisme, anti-tirani, dan jijik atas anarkisme agama? Biarkan pertanyaan itu bekerja sementara, kita harus melanjutkan lagi cerita.

Dalam Syir’ah No. 34/IV/2004: “Shahnaz Haque: Bergaul Tak Harus Seagama” diangkat artikel “Mohammed Arkoun: Sejarawan-Pemikir Islam”. Dalam paragraf awal artikel tersebut, pembaca langsung disuguhi ihwal Arkoun. “Dalam kancah pemikiran Islam kontemporer, rasanya kita tidak mungkin mengabaikan Muhammed Arkoun. Dia dikenal sebagai pemikir yang berani dan kritis dalam menguliti wacana (pemikiran) Islam yang telah (di)mapan(kan). Tak segan ia mendekonstruksi seluruh bangunan pemikiran yang selama ini telah dianggap menyimpang dari zeitgeist (ruh) kemunculan Islam. Bukan basa-basi, dengan metodologi keilmuan yang tak diragukan lagi, ia berhasil menyuguhkan wacana baru yang dahsyat dan genuine. Ia dijuluki sebagai seorang reformistik-dekonstruktif, pembaharu yang melakukan pembongkaran terhadap ajaran mapan.”

Akibat dari latar petualang intelektualnya mengkaji Foucault, Derrida, Lacan, Levi-Straus, Barthes, tentu termasuk Saussure, konon disebutkan bahwa penerjemah Arab (Dr. Hasyim Shalih, kolega sekaligus muridnya) merasa kesulitan besar membuat transliterasi atas wacana yang dikembangkan Arkoun. “Sebab, banyak kosakata mutakhir yang dipakai Arkoun yang “belum terbahasakan” dalam bahasa Arab.”

Proyek besar Arkoun terkandung dalam Pour de la Raison Islamique (Menuju Kritik Nalar Islam), yang hendak membongkar seluruh pemikiran serta karya-karya yang ditulis oleh tokoh Islam, baik yang berbahasa Arab maupun non-Arab, dan tidak mengacu pada pengertian filsafat—sebagaimana Kant dan Sartre—tetapi dipengaruhi oleh sejarawan Prancis Francois Furet. “Dari Furet, Arkoun mengadopsi metode kritik sejarah (manhaijiyyat an-naqd at-tharikhiy) untuk melakukan Kritik Nalar Islam. Berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme, Arkoun bermaksud melihat seluruh fenomena sosial budaya lewat perspektif historis, bahwa masa lalu harus dilihat melalui strata historikal.”

Dari kerja itu, Arkoun menggunakan episteme Foucault untuk membagi rupture sejarah Islam dalam 3 lapisan: Pertama, Nalar Klasik, yakni sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam, yang kemudian sebagai “yang thinkable” (le pensable). Kedua, Nalar Skolastik, yakni medan taklid sebagai pusat berpikir umat, sebagai “yang unthinkable” (l’impinse). Ketiga, Nalar Modern, yakni kebangkitan dan revolusi, sebagai “yang not-yet-thought” (l’impensable). Dari dasar historisisme itu, Arkoun kemudian memunculkan kembali problema lama mengenai pemaknaan Ahl Kitab dengan munculnya tawaran mengenai konsep Masyarakat Kitab.

“Dengan istilah ini, Arkoun ingin menghilangkan sakralitas dari pengertian ahl kitab untuk menjelaskan sebuah fenomena di mana masyarakat secara keseluruhan telah hidup berabad-abad lamanya dan mengalami fase sejarah tertentu dan tetap berdasar pada suatu kitab suci. Maka, bagi Arkoun, mereka mempunyai derajat dan layak mendapat perlakuan yang sama karena mereka sama-sama bertauhid dan tidak mengingkari Tuhan.”

Dari rangkaian itu, maka menjadi keharusan untuk terjadinya dialog antar-agama. Di sana, Arkoun empat hal yang harus dilakukan, Pertama, melakukan kembali pemikiran konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat menuju suatu pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integral sosial. Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran yang eksklusif menuju kritisisme radikal yang tanpa konsesi terhadap akal-religius sebagaimana fungsinya dalam seluruh tradisi agama-agama tersebut. Ketiga, umat beragama harus melampaui pembagian antara akal-religius dan akal-pencerahan yang telah diperkuat oleh para filosof seperti Kant dan Hegel. Keempat, perlunya studi agama secara historis-antropologis untuk mengikis dominasi agama yang selama ini didominasi oleh ortodoksi dan perkembangan yang mapan dan dikendalikan oleh penguasa.

Demikianlah Arkon, setidaknya gambaran besar yang dipaparkan M. Khoirul Muqtafa (penulis artikel ini, Koord. Piramida Center, Jakarta). Apakah pertanyaan yang tersimpan masih bekerja: apakah kebetulan saja Model Mimik artis menyatakan sikap saling menghormati, toleransi, dan anti atas kekerasan yang mengatasnamakan agama?

Mari kita simak satu lagi, ia adalah Ali Ahmad Sa’ad Asbar alias Adonis. Dalam Syir’ah No. 38/V/2005: “Panasnya Undang-undang Pornografi” dengan artikel “Adonis: dengan Sastra Menggugat Sakralitas Tuhan”, kita disuguhkan suatu nuansa yang berbeda dengan kedua pemikir di atas sebelumnya. Adonis adalah seorang penyair, sehingga dalam melakuka kritiknya ia lebih cenderung ke wilayah budaya. Karya besarnya, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: bahs fi al-Ittiba’ wa al-Ibda’ ‘ind al-‘Arab (Aliran Statis dan Aliran Dinamis: Kajian tentang Imitasi dan Inovasi dalam budaya Arab)

“Berbekal pendekatan fenomenologis, diperkuat data tradisi Arab-Muslim yang kaya, melalui karya ini, Adonis hendak menampilkan budaya Arab-Muslim sebagaimana adanya. Dalam penelitian, dia menemukan gerakan historis ke arah perubahan dan kemajuan terdapat dalam sejarah Arab-muslim. Namun senantiasa kekuatan statis yang direpresentasikan oleh budaya tradisionalis berhasil menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang mendamba pembaharuan.” Bagi Adonis, budaya yang terbelenggu oleh tradisi statis inilah yang membuat budaya Arab-Islam mundur.

Bahkan ia menilai bahwa, umat Islam memiliki pandangan bahwa pembentuk kebudayaan bukan semata rekayasa insani atau perasaan, pikiran, dan tindakan manusia, melainkan termasuk juga rekayasa Ilahi. Hal terakhir ini, lanjutnya, yang diakui sebagai pembentuk kebudayaan yang sejati. Manusia telah ditakdirkan untuk tidak menjadi pencipta karena pencipta tak lain hanyalah Tuhan. Seperangkat inilah, dalam pandangan Adonis, merupakan penghambat bagi kreatifitas manusia, yang percaya bahwa penciptaan masih dibutuhkan sebab kebudayaan masih berlangsung. Dengan kata lain, menyerahkan kebudayaan tidak pada manusia (melalui teosentrisme, tradisionalisme, dan passieisme: melankoli pada masa lalu) telah merintangi aktualisasi potensi dan daya kreatif kaum muslim.

“Aliran ini menurutnya memanifestasi diri dalam pilihan umat terhadap naql (wahyu dan sunnah) ketimbang ‘aql (rasio)dalam pemikiran keagamaan. Teks ilahi berlaku sebagai awal dan akhir. Sebagai awal, karena wahyulah yang memulai kebudayaan. Sebagai akhir, karena wahyu juga yang merupakan kebudayaan terakhir: ia memutuskan rantai evolusi dan perkembangan kebudayaan insani yang alami.”

Oleh karena itu, menjadi hal niscaya bagi Adonis untuk menumbuhkan kekuatan kreatif yang memanifestasikan diri dalam dominasi interpretasi rasional (takwil) terhadap teks-teks agama, yang tidak berorientasi untuk meniadakan, membuang ataupun mempertahankan tradisi. Tetapi pada tekad untuk “menciptakan” dalam arti sesungguhnya dari kata itu. “Bagi Adonis untuk dapat mencipta, manusia harus terlebih dalu meniadakan konsep dan peran tradisional Tuhan.”

Itulah kritik budaya-agama yang dikemukakan Adonis secara garis besar oleh Ahmad Mulyadi (penulis artikel, alumnus Fakultas Sastra Universitas Bamberg-Jerman dan dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Bila sebelumnya, nuansa kuat wilayah kritik teks dan sejarah, Adonis melakukan pengolahan analisisnya melalui dimensi budaya.

Penjelasan model Mimik dan Ontologis di atas rasanya telah memberikan suatu penjelasan langsung dari dalam. Atau sebuah, meminjam Clifford Greetz, arsiran tebal (thick description) dari apa yang muncul dalam artikel. Sebab semua pembahasan diambil langsung dari artikel tersebut, sehingga pembaca menemukan dirinya seolah berada di sana (being there).

Dari penjelasan Model Ontologis di atas, kita menemukan benang merah dalam pemikiran tokoh yang diangkatnya. Ali Harb bicara mengenai profannya peran legitimasi untuk merengkuh hasratnya dalam membuat monotafsir yang hegemonik. Sebab kanon telah menjadi teks, dan ia tanpa tuan, maka usaha klaim kebenaran monosemi adalah upaya penipuan diri, meski epistemis. Imbasnya, kita tak bisa lagi menganggap bahwa pengalaman keberagamaan seseorang, atau suatu kelompok adalah pengalaman yang paling otentik, sehingga ia kemudian bisa digeneralisir untuk menjadi absolut. Setiap kelompok agama, tak saling mengendalikan, sebab kebenaran, sebagaimana Ali Harb yakini, adalah wilayah imaginasi dan irasionalitas. Maka bila terbentuk tafsir hegemoni, di sanalah kekerasan tercipta.

Kemudian dari Arkoun kita jadi tahu bahwa realitas ini adalah tumpukan pengetahuan yang mengendap. Sehingga, bagaimana untuk merujuk kembali kepada yang asali, upaya membongkaran adalah keharusan. Termasuk, lapisan padat yang membentuk pengetahuan itu sendiri adalah kemapanan. Dengan demikian, Arkoun hendak menarik yang sakral (kanonik) untuk berpihak pada yang menyejarah dan profan (teks interpretatif), sebab ia mengerti bahwa yang kanonik adalah bentukan sejarah yang kemudian dimapankan melalui kekuasaan.

Sedangkan dari Adonis, pemihakan pada manusia, yang menyejarah dan fana’, maka sebab itu upaya kanonik telah melahirkan budaya yang mapan dan tidak kreatif. Sehingga kebudayaan yang seharusnya menunjukkan progresifitasnya malah mandek dan merosot. Lagi-lagi, persoalan tradisi sebagai representasi sejarah-kuasa, telah merangsek kedinamisan manusia untuk mencipta, jadi khalifah bagi kebudayaannya sendiri yang masih berlangsung.

Pemikiran ketiganya, juga masih banyak pemikir yang lain, yang berharap terbebaskan dari hegemoni tafsir, klaim kebenaran absolut, totaliterisasi pengetahuan, dan penguasaan bentuk sejarah, adalah ciri khas dari trend ini. Konon trend pemikiran ini kerap disebut sebagai para pemikir Postradisi.

Berdasarkan hal-hal tersebut, kita bisa mengerti bahwa sikap anti-kekerasan adalah sikap penolakan atas klaim kebenaran yang kerap memaksa menundukkan tiap takwil atas hidup. Sebagaimana perasaan sedih, juga jijik, yang dialami Muhammad Farhan dan Shahnaz Haque ketika melihat suatu kelompok yang kaku dan betapa deterministiknya menilai dan menafsirkan ajaran dan pengalaman keberagamaan. Padahal, agama yang seharusnya memberi watak arif pada manusia, yang seharusnya indah dan damai, berubah menjadi keberingasan yang tak terkendalikan.

Runtuhnya hegemoni tafsir, mengindikasikan pula pada runtuhnya sejumlah klaim. Baik soal tafsir ketuhanan, legitimasi sosial, gender, dan sebagainya. Oleh karena itu, sejumlah metanarasi yang membentuk sejarah sebagai lapisan pengetahuan juga runtuh, dan dipenuhi dengan pemihakkan pada suatu kanon tertentu. Itulah yang ditemukan juga Abidah, melalui sejumlah karya sastranya, ia kemudian memulai proyek untuk mengorek tafsir tak imbang alias bias gender, khususnya dalam tradisi pesantren.

Dari penjelasan tiga artikel tokoh yang diangkat Syir’ah di atas, kita kemudian bisa memahami bahwa—setidaknya dalam pemilahan Roland Barthes—Model Mimik merupakan gerakan wilayah denotasi (denotation) yang diungkapkan secara lugas melalui artis. Sedangkan Model Ontologis adalah petanda yang bergerak di wilayah konotasi (connotation). Hal ini bisa kita pahami, sebab Barthes meyakini bahwa tinanda budaya bukan sesuatu yang suci (innocent), tapi sarat dengan kaitan yang kompleks dengan reproduksi ideologis.

Khatimah

Terang pemilahan Barthes di atas tentu bukan tanpa masalah. Pertama, jika kemudian artis dikatakan sebagai kawasan denotatif, kita tak punya jaminan apakah artis dipengaruhi para tokoh (membaca dan mempelajarinya) atau justru mereka sendiri adalah subjek yang berhadapan langsung dengan fakta keberagamaan, kemudian menyadari sesuatu bahasan yang mirip, sehingga mereka sendiri pun pada saat yang sama adalah wilayah konotasinya. Sehingga distingsi strukturalisme yang berorientasi pada langue (petanda, model ontologis, dasar) bergeser ke pemihakkan pada parole (penanda, model mimik) sebagai dasar percakapan tentang kebenaran dalam teks. Di sini belum ada keterangan lebih jelas.

Kedua, menyatakan Model Ontologis adalah ranah ditemukannya makna, ini sama artinya kita terjebak pada Petanda Transenden (metaphysic of presence), di mana ketika membaca artikel itu kemudian tinanda Syir’ah terkuak secara apriori (correspondence theory). Ini adalah logosentrisme yang dikecam Jacques Derrida. Model Ontologi tak bisa dirujuk sebagai substansi Syir’ah, sebab ia terhimpit di antara rubrik lain yang kita pendam. Maka substansinya adalah gerak keseluruhannya teksnya, hingga tak menemukan suatu lahat. Sayangnya, ketika penulis browsing ke situs Syir’ah, arsip terakhir itu Maret, no. 40 tahun 2005. Tapi itu juga bukan akhir, sebab ada kemungkinan media ini bermetamorfosa dengan nama atau bentuk lain.

Model Mimik dan Model Ontologis untuk sementara ini menjadi mungkin jika keduanya dalam relasi, di mana keduanya terdapat kesamaan pokok percakapan, yang bahkan tak mustahil kebetulan belaka atau tak ada hubungan sama sekali antara satu dengan yang lain. Dengan demikian sangat tak adil bila keduanya lantas ditarungkan dalam pemilahan. Maka secara tak langsung, pemilahan jadi Model Mimik dan Model Ontologis pun jadi tak memadai lagi. Jika tidak, artinya bila tetap dianggap masih ada hubungan dalam percakapan antara keduanya, maka kemungkinan paling jelas berada pada kuasa-pengetahuan Syir’ah yang sedang memainkan percakapan keduanya dalam sebuah edisi tertentu. Pada suatu maksud tertentu: ideologi dan imagologi.

Namun demikian, dari pemikiran keduanya—kita tak bisa lagi memilah karena yang ini si-tokoh dan yang ini si-artis—dalam memersoalkan kekerasan, toleransi, anti-hegemoni tafsir agama, pada faktanya memberikan kontribusi penting. Sebab melihat kondisi sosial dan keberagamaan kita yang kian kompleks, dan secara terang terjebak dalam lapisan kanonik, keras, dan brutal. Oleh karena itu, keduanya—sebagai figur yang kini dalam derajat petandaan yang sama—layak untuk diapresiasi dan dikabarkan pada masyarakat.

Apakah hal itu yang justru diinginkan Syir’ah untuk menampilkan mereka, baik motif ideologi maupun tekstur imagologi? Jika benar, itulah Islam tampil dalam wajah Syir’ah. Bila tidak benar, mungkin selebihnya entah.[]

Daftar Rujukan:

Syir’ah, No. 31/IV/2004: Jurus Mubalig di Musim Politik.

_______, No. 34/IV/2004: Shahnaz Haque: Bergaul Tak Harus Seagama.

_______, No. 35/IV/2004: Muhammad Farhan: Bukan Tuhan yang Dibela, tapi Ajaran-Nya.

_______, No. 37/IV/2004: Anak Zaman Menerobos Batas.

_______, No. 38/V/2005: Panasnya Undang-undang Pornografi.

_______, No. 39/V/2005: Kaum Metro Memburu Taubat.

_______, No. 40/V/2005: Najwa Shihab: Terhormat Meski Tanpa Jilbab.

_______, No. 41/V/2005: 3 Santri Pendobrak Tabu Seks.

Leave a comment