KEHENDAK UNTUK MUSNAH

Oleh: Faridz Yusuf

TIAP MANUSIA menghasrati keabadian. Ia menyadari akan kesementaraan dunia: ketika detik pergi, menitpun kelak mesti ditinggalkan, baik dikehendaki ataupun terpaksa. Waktu akan berjalan dengan demikian adanya. Pada sisi ini, manusia begitu rapuh jika disandingkan dengan waktu.

Salah satu sikap dari kecemasan akan keabadian ini bisa kita lihat misalnya pada tokoh Togog sebagaimana terbingkai dalam Wahyu Purba Sejati (On Thrones of Gold) buah tangan dari Ki Siswoharsojo. Hasrat keabadian Togog, sebagaimana yang dipaparkan Goenawan Mohamad, dikisahkan Togog bekerja untuk Raja Dasasukma (ruh Rahwana), dan anaknya Begasuksma (ruh Indrajit, anak Rahwana). Ia mengatakan dalam suatu waktu: “Meskipun hamba hanya pelayan, hambapun punya cita-cita, seperti orang lain: mengharapkan kehidupan sempurna di dunia dan setelah mati ….”1

Saya kemudian ingat sebuah lagu DEWA, Pangeran Cinta:

Detik-detik berganti dengan detik menit pun silih berganti / Hari-haripun terus berganti bulan-bulan juga terus berganti / Tahun-tahunpun terus berubah hidup ini juga pasti mati // Malam-malam diganti dengan pagi pagipun menjadi siang / Tahun-tahunpun berganti abad yang mudapun pasti menjadi tua / Musim-musimpun terus berganti hidup ini juga pasti mati / Tak kan ada yang abadi tak kan ada yang kekal //

Hal yang cukup menarik dari teks lagu di atas adalah kemampuan menderetkan perubahan. Ini mungkin begitu mudah. Akan tetapi untuk menjadikan perubahan itu penuh makna hanya terlaksana dengan sebuah kecemasan. Sebab yang dipentingkan di sana adalah kesadaran eksistensial. Pada pepalung hati terdasar ada dalam kecemasan, kita akan menyadari bahwa waktu begitu lambat, dan kita mampu menderetkannya.

Melihat teks yang ada dalam lirik ini mengingatkan kita akan sebuah ayat dalam Al-Qur’an: Semua yang ada di bumi itu akan binasa (Q.S. Ar-Rahman: 26). Dari teks di atas, kita mendapatkan suatu hierarki atau keberjenjangan mengenai perubahan sebagai berikut: Detik—Menit—Bulan—Tahun—Abad—Tua—Mati. Tentu saja dalam hal ini, bahwa detik, menit, dan sebagainya hanyalah sebagai penanda-penanda waktu, bukanlah waktu pada dirinya sendiri. Penanda waktu adalah sebagai suatu rujukan dan upaya manusia mengontrol perubahan yang sedang terjadi. Penanda-penanda tersebut, dalam perspektif Heidegger, adalah penanda-penanda dalam waktu yang vulgar, jam mekanis. Pada dirinya sendiri, waktu tidaklah memiliki titik-titik yang berupa detik ataupun menit: itu hanyalah kecemasan manusia ketika menghasrati keabadian, maka terciptalah penanda bagi keberjalanannya waktu.2

Muhammad Iqbal mengingatkan kita dalam Asrar-I-Khudi yang berjudul Waktu Adalah Pedang bahwa,

[…]

Lihatlah kau dibelenggu masa lalu dan masa depan

Pandanglah alam lain dari kalbumu

Tapi mengapa kau semai bibit kegelapan

Kau bayangkan waktu seperti garis

Waktu cuma kau ukur dengan siang dan malam semata

Kau jadikan itu pengikat hati tak beriman

[…]

 

Bukan matahari yang melahirkan waktu

Waktu kekal, sedang matahari sebentar akan musnah

Waktu adalah rahasia sinar bulan dan cahaya matahari

Bentangkan waktu

Bedakan masa lalu dan masa depan

Waktu tak berakhir tak bermula

Dia adalah bunga dari taman ruh kita

Mengenal hakikat akan menyegarkan hdup berjiwa baru

Wujudnya lebih syahdu dari fajar

Hidup bermula dari waktu

Waktu bermula dari hidup

 

[…] 3

Dalam keberjalanannya waktu, kita diingatkan juga oleh sebuah adagium Heraklitus bahwa that everythings is always changing.4 Dengan dahsyatnya waktu, sebagai tetanda keberubahan dan kebertujuan pada kemusnahan, ia menjadi begitu penting untuk disadari: bahwa sebuah keabadian senantiasa bersanding dengan Tuhan. Dan Tuhanpun bersumpah dengan diri-Nya: Wal ‘Asr, Demi Waktu.

PENGINGATAN Tuhan dan waktu dalam tradisi Mistisisme Islam salah satunya dikembangkan oleh ‘Ayn Al-Qudhat al-Hamadzani.5 Gagasannya yang memukau perihal ini adalah menyoal Khalq Jadid, Penciptaan Baru, di mana dalam penciptaan Tuhan dalam kebesertan-Nya, Ma’iyyat Allah. Untuk memahami gagasan ini, terlebih dahulu kita mesti memperhatikan gagasannya mengenai aspek “Wilayah Akal” (Thawr Al-‘Aql) dan “Wilayah Di Luar Akal” (Thawr Wara Al-‘Aql). Dan keduanya mesti dipahami sebagai, pertama, suatu keadaan subjektif kesadaran dan, kedua, suatu keadaan objektif realitas.

Meskipun demikian, pada dasarnya ‘Ayn Al-Qudhat tidak membedakan di keduanya. Bahkan keduanya digambarkan sebagai dua daerah yang berdampingan: di mana batas akhir Wilayah Akal berhubungan dengan batas awal Wilayah Di Luar Akal. Dalam hal ini, dengan mengikuti paparan Toshihiko Izutsu, Kautsar Azhari Noer menjelaskan,  “Wilayah Akal” sebagai keadaan batini subjek berarti fungsi rasional dan analitis dari akal yang dilakukan atas dasar benda-benda yang dilengkapi dengan pengalaman indra. Namun secara objektif, “Wilayah Akal” berarti dunia empiris, dimensi fenomenal realitas, yang di dalamnya akal memenuhi peranan alamiahnya. Sedangkan “Wilayah Di Luar Akal”, secara subjektif berarti kesadaran yang terdalam, dan secara objektif berarti suatu tatanan realitas yang supraindrawi.6 Hal inilah yang menjadikan pengantar untuk memahami gagasan ‘Ayn Al-Qudhat mengenai penciptaan.

Sebagaimana para sufi dan filsuf, ‘Ayn Al-Qudhat percaya bahwa alam diciptakan. Oleh karena itu alam adalah baru, yakni memiliki permulaan dalam waktu, dan Tuhan ada dalam qadim. Penciptaan Tuhan adalah alam fenomenal, maka ia berada dalam Wilayah Akal. Gagasan pencitaan ‘Ayn Al-Qudhat yang unik adalah melihat dari Wilayah Di Luar Akal. Menurutnya, Tuhan atau “Yang Absolut” sebagai “Sumber Segala Sesuatu” dapat dipahami dalam Wilayah Akal, artinya alam adalah sebuah produktivitas Tuhan, yang terkait dengan waktu. Akan tetapi dari sudut Wilayah Di Luar Akal,  Tuhan sebagai “Yang Absolut” dan sebagai “Sumber Segala Sesuatu Yang Ada” adalah wilayah metafisis yang tak terpaut dalam waktu. Konsep waktu menjadi nihil. Pada titik inilah Tuhan sebagai “Yang Absolut” dan sebagai “Sumber Segala Sesuatu Yang Ada” ada dalam keabadian. Ide inilah yang kemudian dikenal sebagai Ma’iyyat Allah, Kebesertaan Allah.

Bagi ‘Ayn Al-Qudhat, segala sesuatu yang ada secara bersama dalam “Wilayah Di Luar Akal” dalam daerah wujud yang abadi, yang diam dan tidak bergerak secara abadi, tiba-tiba muncul dalam suatu keadaan perubahan terus menerus. Perubahan inilah yang disebut ‘Ayn Al-Qudhat sebagai jarak ontologis dengan Tuhan yang dikuasai Waktu, di mana hubungan masing-masing dari segala sesuatu itu dengan Sumber wujudnya berubah secara konstan. Atau dalam pengertian yang lain, segala sesuatu terus menerima suatu wujud baru pada setiap saat, pada keberubahannya.

Pada denah ini bisa disimpulkan bahwa “Tak kan ada yang abadi tak kan ada yang kekal” seperti dalam teks lagu di atas lalu dapat berarti bahwa keberubahan untuk mencapai kemusnahan. Dan kemusnahan adalah salah satu taraf transfigurasi dalam Kekekalan, di mana keabadian Tuhan adalah sebagai kebertujuan kemusnahan segala sesuatu.7

PERTANYAAN yang mungkin selanjutnya dikembangkan adalah jika kemusnahan adalah sebagai aspek transfigurasi dalam mendekati Tuhan, mengapa dalam teks dikatakan bahwa Semua ini pasti akan musnah / Tetapi tidak cintaku padamu / Karena aku sang pangeran cinta ? Dengan demikian bagaimana mendekati Tuhan?, apa hubungan Tuhan dengan Cinta? Dalam hal ini, Ali Syari’ati pernah mengatakan bahwa, “Setiap agama, akidah, gerakan, atau revolusi terdiri dari dua unsur: kebijaksanaan dan cinta. Yang satu adalah cahaya, yang lainnya adalah gerakan. Yang satu memberikan pikiran sehat dan pengertian, yang lainnya memberikan kekuatan, gairah, dan gerakan.”8

Sebelum menganalisis persoalan kebertuhanan dalam cinta, ada baiknya kita memperhatikan terlebih dahulu gagasan kemusnahan sebagai bentuk transfigurasi menuju Tuhan. Gagasan kemusnahan menuju Tuhan memang telah terlontarkan di masa awal mistisisme, terutama pada Al-Hallaj, Abu Yazid al-Bisthami dan Rabia’ah. Namun, gagasan kemusnahan (fana’) yang akan disoroti pada saat ini adalah masih dari gagasan ‘Ayn Al-Qudhat.

Gagasan fana’ dalam pemikiran ‘Ayn Al-Qudhat didasarkan pada penghancuran ego atau nafsu, ke-tanpa-aku-an. Dengan jalan ini, baik manusia maupun makhluk lainnya akan menghaturkan diri pada suatu kekekalan Tuhan. Sebagaimana yang ditulisnya dalam Tamhidat:

Seluruh dunia terperangkap di wilayah pembinasaan (La ilaha), sementara seratus ribu jiwa telah dilepaskan dari jiwa mereka. Di jalan ini, hanya dia yang mencapai penegasan (illa Allah) memiliki sebentuk jiwa; orang yang jauh dari tingkatan ini tidak memiliki apa-apa dari kesempurnaan jiwa. 9

Pada titik ini, segala kemusnahan yang terjadi di dunia, lambat-laun adalah sebagai manifestasi dari pembinasaan diri, tentu dalam bentuk fana’ yang alamiah. Dan fana’ dalam khusus manusia adalah ikhtiar memusnahkan diri yang dipercepat, dalam kerangka berdekatan dengan Tuhan, tanpa menghancurkan sesuatu yang alamiah di sampingnya, termasuk tubuhnya.10

Salah satu bentuk upaya pemusnahan diri dalam ke-tanpa-aku-an, menurut ‘Ayn Al-Qudhat, adalah dengan melayani sang Guru. Gagasan ‘Ayn Al-Qudhat mengenai peranan Guru sangat sentral dalam perkembangan spiritual. Bahkan, ia menyebutkan bahwa, wajib bagi sang murid untuk menceritakan kepada gurunya—dan hanya kepadanya—semua keadaan jiwa, terutama pengalaman-pengalaman visioner yang dialaminya. Artinya, murid berkontemplasi terhadap Tuhan dalam cermin yang merupakan roh gurunya, dan guru berkontemplasi terhadap dirinya dalam cermin yang merupakan roh muridnya, sebagaimana Tuhan, melalui penciptaan alam, menciptakan cermin sebagai tempat untuk berkontemplasi terhadap diri-Nya.11

‘Ayn Al-Qudhat menulis,

Semakin banyak aku menulis tentangnya, semakin rumit masalahnya [namun tidak ada cara lain]: ketahuilah bahwa, dalam pengertian umum, murid adalah orang yang menyesatkan diri dalam diri sang guru (dar pir bazad). Pertama, dia menyesatkan agamanya dan kemudian dirinya. Apakah kamu mengetahui makna ‘menyesatkan agama seseorang’? Artinya jika sang guru spiritual memerintahkan dia untuk menentang dan mengabaikan perintah agamanya, sang murid mematuhinya. Jika sang murid, dalam upaya mematuhi perintah sang guru, tidak bersikap bertentangan dengan agamanya, dia masih menjadi murid agama pribadinya sendiri, bukan murid menjadi murid agama pribadinya sendiri, bukan murid sang guru.

Jika sang murid mengejar hawa nafsunya, dia adalah penyembah-diri dan seorang egois. Kepemuridan adalah untuk memuja sang guru (muridi pir parasi buwad) dan untuk membekali diri dengan Kebesaran Tuhan dan Urusan-Nya (semoga keselamatan terlimpah kepadanya!)

[…] Tulisan ini begitu sangat rumit sehingga menemukan seseorang yang memahaminya di muka bumi ini sangatlah jarang, karena di antara ribuan murid spiritual yang sepenuh hati berlari di Jalan Tuhan, hanya satu yang dibawa masuk ke jalan-jalan sempit pengabdian yang sesungguhnya (iradah).

[…] Di seluruh dunia saya mencari seorang murid yang kulitnya bisa saya sumbati dengan sebatang sedotan dan kemudian memasangnya dan mengangkatnya dari lingkaran bundar matahari sehingga seluruh penghuni dunia memberikan perhatian … jika aku temukan seorang murid [di Jalan Sufi] yang sesuai dengan hasrat hatiku, dan jika dia hidup menurut aturanku selama dua atau tiga tahun—tidak kurang—aku dapat mengungkapkan kesejatian dari kebesaran-kebesaran spiritual ini. 12

Penjelasan ke-tanpa-aku-an dalam kemusnahan, sebagaimana pertamakali dikenalkan Al-Hallaj, dirumuskan dengan puitis oleh ‘Ayn Al-Qudhat dalam pembinasaan dalam pengertian suatu ‘kecintaan akan kematian’:

Sahabatku, makanan ngengat disediakan oleh cintanya kepada nyala api, karena tanpa api ngengat putus asa. Ngengat tidak memperoleh kehidupan melalui api sampai api begitu penuh mengubah roman dia sehingga ia memang seluruh dunia sebagai api … Ketika ngengat meringkukkan diri ke dalam api, ia secara total terlalap, seluruh tubuhnya menjadi api. Kesadaran apakah yang ia miliki? Sepanjang ngengat tinggal bersama ‘dirinya’ ia terbelenggu dan ‘tergantung’. Sekarang, ia memandang ‘cinta’ dan cinta memiliki daya [tarik] sedemikian rupa sehingga ketika cinta berkelindan dengan sang Kekasih, Sang Kekasih menarik sang pecinta kepada dirinya sendiri dan melahapnya. Sang pecinta adalah ngengat dan sang kekasih adalah lilin yang memberahkan kekuatan dan makanan kepadanya [ngengat]. Ketika mencari semua ini, ngengat meringkukkan diri ke dalam nyala api. Nyala-lilin, yakni, sang kekasih, bergairah untuk membakar sang ngengat, sampai seluruh lilin menjadi api: tiada yang tersisa, baik cinta maupun ngengat.13

Dalam alegori ini, dapatlah kita pahami bahwa, kemusnahan segala sesuatu dalam ketak-kekalan pada dasarnya adalah sebagai suatu mikraj menuju kekekalan. Dan kemusnahan segala sesuatu menjadi suatu kondisi alamiah yang menampakkan manifestasi dari hasrat akan keabadian. Dengan demikian, penderetan Detik—Menit—Bulan—Tahun—Abad—Tua—Mati seperti yang terlihat dalam teks, sebenarnya adalah upaya memahami secara alamiah arti dari sebuah kemusnahan: sebuah hasrat akan kekekalan. Tak Kan Ada Yang Abadi Tak Kan Ada Yang Kekal. Karena kekekalan adalah Tuhan, sebagai aspek “Wilayah Di Luar Akal”.

Dalam ungkapan Tak Kan Ada Yang Abadi Tak Kan Ada Yang Kekal, apa yang hendak ditunjukkan di sana? Hanya Tuhan. Oleh karena itu, kemusnahan adalah cinta dan kebertujuan itu sendiri, di mana Tuhan sebagai aspek akhiri dari pelenyapan segala sesuatu.

Semua ini pasti akan musnah

Tetapi tidak cintaku padamu

Karena aku sang pangeran cinta

Karena cinta dan kebertujuan adalah satu dalam kemusnahan maka hanya ia sendirilah yang akhirnya tertinggal. Artinya, jika cinta adalah kemusnahan, maka lenyapnya segala ke-aku-an adalah cinta itu sendiri. Dan jika cinta adalah kebertujuan, maka kemusnahan segala sesuatu sebagai pergerakan menuju kebertujuan penciptaan adalah cinta, karena cinta adalah kemusnahan dan kebertujuan itu sendiri. Itulah yang mungkin ingin diungkapkan teks reff di atas.

Hal yang cukup menarik di sini adalah penunjukkan akan suatu subjek: Karena Aku Sang Pangeran Cinta. Artinya penekanan sebuah kecintaan pada akhirnya hanyalah pengolahan wilayah subjek. Peran subjek inilah merupakan beberapa poin dari hermeneutik ‘Ayn Al-Qudhat.

Peranan subjek di antara prisip-prinsip hermeneutik ‘Ayn Al-Qudhat, sebagaimana yang dipaparkan oleh Hamid Dabashi, adalah pemahaman yang solid tentang subjektivitas dari semua tindakan memahami yang tak dapat direduksi. Dan karena subjektivitas fenomenal dari setiap tindakan memahami dan tindakan transmisi historis “menceritakan kebenaran”, seseorang yang ingin mengetahui kebenaran harus melampaui agama-agama [atau mazhab-mazhab pemikiran]. Dharurat Ast Kah Bar In Madzahib Gudhar Kunad, wajib bagi orang itu untuk mendapatkan pengetahuan dan kemudian melewati semua klaim seperti itu menuju kebenaran mutlak. Agama apapun, bagi ‘Ayn Al-Qudhat, hanyalah pelbagai versi historis dari kebenaran transenden dan tertinggi. Seseorang harus melampaui dan kemudian melampaui pelbagai versi agar mencapai pemahaman yang merupakan penjumlahan total dari semuanya dan yang secara tidak total tidak ada di mana-mana.14

Dengan demikian, penunjukkan subjek dalam Karena Aku Sang Pangeran Cinta, adalah penunjukkan kualitas diri sebagai subjek yang mencintai, di mana tindakan pemahaman dan tindakan transformasi kecintaan tidak dapat direduksi dengan berbagai hal pemaknaan di luar dirinya. Inilah lokus subjektif dari prinsip kerja hermeneutik ‘Ayn Al-Qudhat. Dabashi menjelaskan,

Bahwa pengalaman hermeneutis adalah proposisi yang intrinsik linguistik; bahwa semua tindakan pemaknaan [penandaan] adalah keragaman makna yang tak tereduksi; bahwa hubungan kekuasaan memunyai dampak politis yang menentukan atas hasil hermeneutik; bahwa perjumpaan hermeneutis adalah proposisi historis yang efektif; bahwa kejadian hermeneutis selalu terjadi dalam tatanan komunal dan dalam konteks pertukaran dialogis; bahwa semua tindakan hermeneutis adalah subjektif dalam kemungkinan-kemungkinan yang luas dan terbuka bagi penafsiran yang diajukan oleh mereka; dan akhirnya bahwa semua klaim kebenaran yang mempunyai perantara historis seharusnya dipelajari dan dikuasai dan kemudian diwariskan untuk generasi berikutnya—kesemuanya ini adalah gambaran khusus teori tentang pemahaman yang dalam narasi ‘Ayn Al-Qudhat akhirnya bergantung pada perjumpaan individual yang tak dapat direduksi dengan metafisika tertinggi “Menceritakan-Kebenaran”: metafisika yang dengan efektif ditransformasikan melalui hermeneutik narasi-tandingan.15

Sampai di sini, kita mendapatkan kesimpulan bahwa apa yang hendak dibicarakan oleh teks Pangeran Cinta, tentu dalam pembacaan versi ‘Ayn Al-Qudhat, adalah upaya memahami kembali arti sebuah kecemasan di tengah kecamuk kemusnahan: di mana waktu dipahami sebagai rentang kemusnahan itu sendiri, bukan perbagian dari suatu kemusnahan tertentu [musnahnya detik, menit, hari, bulan, tahun, abad, dan kematian]; memperingatkan bahwa kemusnahan adalah “kebertujuan dalam cinta” sebagai “hasrat pada kekekalan”; semua kemusnahan dalam “ke-tanpa-aku-an” bagaimanapun pada akhirnya berpusat pada subjek itu sendiri: tergantung bagaimana transformasi tindakan pemahaman diri dalam mencintai dan memusnahkan diri dalam “ke-tanpa-aku-an-nya”, atau bergantung pada subjek tindak hermeneutisnya, subjek tindakan Verstehn.[]***

1 Goenawan Mohamad, “Togog”, TEMPO 14 Agustus 1976.

2 Martin Heidegger membedakan antara waktu vulgar (Innerzeitigkeit, in der Zeit, ke-ada-di-dalam-waktu-an) dan waktu eksistensial (Zeitlichkeit). Penjelasan waktu yang psiko-eksistensial-ontologis ini menekankan penghayatan diri akan perubahan-perubahan, penghayatan kita pada tindak keseharian. Seseorang yang otentik ia akan memandang Masa Depan (eigentliche Zukunft) sebagai “Antisipasi” (das Vorlaufen), bukan sesuatu yang menunggu-nunggu. Sedangkan Masa Lalu yang otentik (die eigentliche Gewesenheit) sebagai “Pengambilan Kembali” (Wiederholung), bukan sebagai “Kelupaan” (das Vergessen). Dan Masa Kini yang otentik (die eigentliche Gegenwart) sebagai “Momen Visi” (Augenblick), bukan sebagai “Kehadiran” (das Gegerwartigen). Lihat: Franxisco B. Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, h. 112-118. Dengan peta di atas, dapatlah kita pandang bahwa, seseorang yang dalam keadaan cemas (Angst) akan merasakan kondisi dirinya yang terdalam. Pada saat menyadari kondisi ini, ia akan mencoba mengambil masa lalu kemudian ditafsirkannya untuk membuat kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Oleh karena itu kekuatan seseorang secara eksistensial dalam menghadapi waktu adalah kemampuan melampaui tetanda perubahan waktu, yakni kemampuan untuk menderetkan waktu dalam kecemasan-kecemasan. Sehingga penderetan waktu secara efektif lahir dari terlampauinya seluruh konstruksi mengenai bergeraknya perubahan dalam waktu.

3 Muhammad Iqbal, “Kumpulan Puisi-puisi Asrar-I-Khudi” dalam Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, h. 389-340.

4 Dalam catatan Charles Kahn, The Art and Thought of Heraclitus (1979), mengutip Karlina Leksono, Heraklitos mengatakan, “Bijaksanalah untuk bukan mendengarkan saya, tetapi mendengarkan logos, dan untuk menyetujui bahwa segala sesuatu adalah satu. Yang teratur itu (kosmos), yang sama untuk semua, yang bukan dibuat oleh Tuhan ataupun manusia, tetapi yang selalu ada dan akan selalu ada … Sekalipun logos ini selalu tersedia, manusia gagal memahaminya, baik sebelum mendengarkan maupun sesudahnya (atau “ketika mereka mendengarkan untuk pertama kali”) … Sekalipun logos dialami bersama, kebanyakan orang hidup seperti seakan-akan pemikiran mereka adalah milik pribadi … Mereka percaya hanya pendapat mereka sendiri”. Lihat: Karlina Leksono, “Awal Sebuah Pemahaman”, dalam http://mkb.kerjabudaya.org

5 ‘Ayn Al-Qudhat sebanarnya bernama Abu Al-Ma’ali Abdullah ibn Abi Bakr Muhammad ibn Al-Hassan ibn Ali Al-Hadzani. Ia dilahirkan di Hamadzan pada 494 / 1098, dari keluarga terpelajar, berasal dari Miyana di Azerbaijan, sebuah kotapraja yang terletak di antara Maraghah dan Tabriz. Kakeknya adalah qadhi Hamadzan, dan di sinilah dia meninggal sebagai seorang syahid; ayahnya juga meninggal sebagai tindak kekerasan. Tak ada catatan mengenai latar belakang pendidikannya. Akan tetapi, kecerdasannya dalam bidang tata bahasa Arab, filologi dan sejarah sastra Arab, tafsir Al-Qur’an, ilmu tentang sunnah dan hadis Nabi, telogi, ilmu kalam (ia bermazhab Syafi-i, dan memenuhi syarat untuk menjadi qadhi), logika dan filsafat, kesemuanya nampak dari tulisan-tulisannya. Hingga, dalam usia empat belas tahun, ia menghasilkan Risalat, yang kemudian dianggap bid’ah oleh kaum nomosentris. Sejumlah karyanya, dari sekitar 16 kitab (ditambah pula 3 karya yang dinisbahkan padanya), 10 di antaranya hilang. Di usianya yang ke tiga puluh tiga, ia diadukan kepada menteri Saljuk dari Irak, Abu Al-Qasim Qiwamuddin Nashir ibn Ali Al-Daragazini, yang menjebloskannya ke penjara di Baghdad. Setelah kembali ke Hamadzan, pada tanggal 6-7 Jumada Al-Akhir 525 H atau 6-7 Mei 1131 M. ‘Ayn Al-Qudhat dihukum mati oleh Mahmud, Sultan Saljuk (511-524 H/1118-1131 M).

   6 Kautsar Azhari Noer, “Ayn Al-Qudhat Al-Hamadzani: Tokoh Sufi yang Terabaikan” dalam pengantar buku ‘Ayn Al-Qudhat Al-Hamadzani, Sang “Penantang” Tuhan: Pembelaan Seorang Sufi Syahid (terj. dari The Apologia of Ayn Al-Qudhat Al-Hamadzani), h. 24. Tulisan tersebut kemudian dimuat kembali Kautsar Azhari Noer dalam bukunya Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, h. 179.

7 Bandingkan dengan “pemikiran proses” dari Alfred-North Whitehead.

8 Ali Syari’ati, Fatimah Az-Zahra, h. 31.

9 Leonard Lewisohn, ‘Ayn Al-Qudhat dan Doktrin Fana’, h. 39.

10 Pengertian Fana’ telah disalahartikan dengan sedemikian jauhnya. Oleh karena itu, Hujwiri mengeluhkan fana’ ditafsirkan sebagai “yang dengan salah membayangkan bahwa kebinasaan menandakan hilangnya esensi dan kerusakan diri, dan bahwa kekekalan menunjukkan kekekalan Tuhan dalam diri manusia”. Tetapi fana’ yang dijalani mistikus, bagi Hujwiri, adalah “melalui penglihatan batin terhadap kemahakuasaan Tuhan dan melalui pewahyuan kebesaran Tuhan ke hatinya, sehingga dalam rasa kebesaran-Nya yang meliputi dunia ini dan dunia esok terhapus dari pikirannya, dan keadaan serta maqam tampak hina dalam penglihatan batinnya yang riang … dia menjadi mata dari akal dan nafsu serupa, bahkan mati dari pembinasaan itu sendiri, dan dalam pembinasaan atas pembinasaan itu lidahnya menyerukan Tuhan, dan pikiran serta tubuhnya dihinakan dan direndahkan. Lihat: Ibid, h. 34-35.

11 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, h. 174.

12 Sebuah pengabdian terkadang mendekatkan pada keajaiban. Salah satu buah pengabdian, atau dalam terma ‘Ayn Al-Qudhat sebagai pembinasaan kepada guru, misalnya seperti kisah tentang Sidi Lahsen Lyusi dari Maroko sebagaimana yang diungkapkan Clifford Geertz dalam Islam Observed. Konon, mengikuti kisah Goenawan Mohamad dalam mengenai buku Geertz itu, dari Pegunungan Atlas Tengah Lyusi turun gunung hingga sampai di Tamgrut. Di sana ia berguru pada Sufi Syaikh Ahmad bin Nasir al-Dar-i, yang tengah diserang penyakit menjijikkan serupa cacar. Setiap muridnya tak ada yang bersedia mendekat, hingga tak ada satupun yang berani mencucikan bajunya. “Guru, biarkan hamba cucikan baju itu,” pinta Lyusi. Lalu ia membawa kain itu ke mata air, menggosoknya, dan seraya memerasnya agar kering, ia minum air kotor yang menetes dari sana. Sekembalinya ke hadapan guru, matanya menyala, seolah-oleh ia baru saja meminum anggur garang, dan Lyusi bukan lagi orang biasa: ia telah memiliki baraka, semacam kekuatan spiritual. Ia menjadi masyhur. Diceritakan pula, suatu saat ia datang ke Meknes. Dan segera saja ia disambut dengan megah oleh Sultan Mulay Ismail, dan diminta menjadi penasehat spiritualnya. Suatu saat Lyusi senantiasa memecahkan piring satu persatu hingga semuanya yang ada di istana. Ia protes terhadap Mulay yang menyiksa para pekerja pembuat benteng istana. “Tuan, kami telah memperlakukan Anda sebagai tamu Tuhan, tapi Anda memecahkan semua piring kami.” Lyusi menjawab Mulay, “Ah, manakah yang lebih baik—keramik yang dibikin Allah atau keramik tanah liat itu?”. Lyusi diusir dari istana dan berkemah di luar benteng, Mulay yang tak menerima pembangkangan pun datang berkuda sendirian, dan Lyusi sedang sembahyang. Mulay menerjang, Lyusi menorehkan garis dengan tombaknya. Melewati itu, kaki kuda sultan tiba-tiba terbenam ke dalam tanah. Lihat: Goenawan Mohamad, “Lyusi”, dalam TEMPO 21 Januari 1978.

13 Leonard Lewisohn, ‘Ayn Al-Qudhat dan Doktrin Fana’, h. 48.

14 Hamid Dabashi, “Ain Al-Qudhat Hamadani dan Iklim Intelektual Masanya” dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.) Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I, h. 527, 529.

15 Ibid, h. 531-532.

Sumber Bacaan:

Franxisco B. Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG: Jakarta, 2004.

Muhammad Iqbal, “Kumpulan Puisi-puisi Asrar-I-Khudi” dalam Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (terj. GM dkk dari The Reconstrution of Religious Thought in Islam), Jalasutra: Yogyakarta, 2002.

Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, Serambi: Jakarta, 2003.

Ali Syari’ati, Fatimah Az-Zahra, tt.

Leonard Lewisohn, ‘Ayn Al-Qudhat dan Doktrin Fana’, tt.

Hamid Dabashi, “Ain Al-Qudhat Hamadani dan Iklim Intelektual Masanya” dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.) Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I (terj. Mizan dari History of Islamic Philosophy),

Magz & Web:

Goenawan Mohamad, “Togog”, dalam TEMPO 14 Agustus 1976.

Goenawan Mohamad, “Lyusi”, dalam TEMPO 21 Januari 1978.

Karlina Leksono, “Awal Sebuah Pemahaman”, dalam http://mkb.kerjabudaya.org

Leave a comment