A V I C E N N A (1)

Oleh: Syihabul Hajj

(Tulisan ini, merupakan estapet resume penulis atas tiga kuliah terbuka Seyyed Hossein Nasr di Harvard University sepanjang Maret 1962 di bawah prakarsa Center for Middle Eastern Studies dan Center for the Study of World Religions.  Tiga kuliah tersebut membahas Avicenna, Suhrawardi Al-Maqtul, dan Muhyiddin Ibn ‘Arabi yang kemudian diterbitkan oleh IRCiSoD dalam tajuk Tiga Madzhab Filsafat Islam, 2006. Selain untuk keperluan minat penulis atas perkuliahan Filsafat Islam, tulisan ini juga adalah rangkaian pengabdian sukarela beliau untuk mengisi rubrik “Sophia” ini dalam beberapa edisi Verstehn ke depan—Redaksi.)

*****

ABU ‘ALI SINA, yang dikenal dunia Barat dengan Avicenna dan diberi gelar “Pangeran Para Dokter”, dilahirkan pada 370/980 di dekat Bukhara. Sang ahli hikmah yang kemudian menjadi tokoh paling berpengaruh dalam Seni dan Pengetahuan Islam dan yang memperoleh gelar Al-Syaikh al-Ra’is (Pemimpin Orang-Orang Bijak) dan Hujjat al-Haqq (Bukti Sang Kebenaran/Tuhan), yang masih dikenal di Timur dengan gelar itu. (h. 44)

            Seperti juga para filsuf-saintis awal, ketertarikan Ibnu Sina itu melingkupi hampir di berbagai kajian yang pada masa itu sedang popular. Sebut saja suasana khazanah pemikiran Peripatetik yang pada masa waktu itu sedang memuai, dia kuasai. Kajiannya yang paling utama—seperti juga kita ketahui—mempersoalkan kedudukan ontologis ‘ada’. Selain itu—bukan hanya pada ranah yang bersifat metafisik—kajian tentang ‘ada’, meliputi kosmologi, itu berkaitan erat dengan realita nyata sebagaimana adanya. Kajian di bagian ini meliputi ilmu alam dan sistem tata hayat/kehidupan di dalamnya. Tentu saja dengan tidak meninggalkan aspek yang menjadi penopang ala pemikiran esoterismenya, yaitu jiwa yang berperan penting di balik penampakan materi.

 

ONTOLOGI. Konon dipercayai bahwa ada sebuah titik di mana semua berasal dari ketiadaan. Lalu pada suatu ketika diciptakanlah sebuah permulaan segala sesuatu. Tata kesegalasesuatuan disusun, baik itu secara hukum gerak materi dan hukum waktu. Semuanya dipecah menjadi bagian-bagian yang berkembang menjadi individu-individu yang mandiri. Ruang memuai pertamakali dari titik ketiadaan. Materi berkembang dari ketiadaan menjadi keberadaan. Lebih lanjut, di antara ruang dan materi ada sebuah sistem tanda yang mengawali; adalah waktu. Kemudian semuanya kita sadari sebagai materi, ruang dan waktu yang bersatu dalam kemenjadian: realita kesadaran. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, jika realita berawal dari ketiadaan yang diciptakan, maka siapa yang memulainya? Sangat tidak dipahami jika semuanya terjadi begitu saja tanpa ada yang melakukannya. Ketiadaan tidak bisa mewujudkan sesuatu. Jelas di sini dibutuhkan pengada yang menciptakan ada dan tiada. Pengada tersebut, yang keberadaannya ada pada dirinya sendirilah yang memungkinkan segalanya.

            Sebuah kepercayaan yang berpijakkan pada pernyataan awal; bahwa segala sesuatu berasal dari ketiadaan buta, tidak bisa diterima begitu saja. Bagaimana bisa sebuah tata realita—mencakup dunia fisik: dimensi materi, ruang: immateri dan waktu sebagai senergi antara keduanya—terbangun tanpa ada tujuan? Nihilisme beranggapan demikian dengan argumentasi ex nihilo-nya. Jadi, untuk apa semua realita ini jika tidak menyembunyikan tujuan? Bahkan sebuah permulaan meniscayakan sebuah akhir. Dan oleh karena ‘akhir’ adalah tujuan, maka dibutuhkan permulaan. Yang tanpa tujuan bahkan setitik pun itu kemudian mesti disingkirkan di sini. Nah, dari sinilah kemudian semua dipermasalahkan. Bahwa sejauh yang nihil disingkirkan, dan apa ‘ada’ yang menjadi pengada itu mesti dimengerti. Ibn Sina secara kritis meletakkan batu pijakan akan suatu kebenaran yang ‘ada’, karena setiap kita mesti memahami kesadaran akan realita ini.

            Mengkaji bagian pertama tentang yang ‘ada’, merupakan fundamen kesadaran akan segala sesuatu. Kenapa ini menjadi sangat penting dikaji?  Karena kita hidup di era yang menuntut kesadaran lebih—bukan karena sebelumnya tidak dibutuhkan kesadaran—tapi lebih karena kita terlempar pada realita majemuk tanpa pijakan yang pasti. Di mana orang-orang meyakini keyakinan untuk kemudian meragukannya, begitu juga sebaliknya. Itulah kenapa sebab kesadaran dibutuhkan untuk berpegang pada satu kepastian yang dianut. Dan oleh karena itu, pada mulanya konsekuensi kesadaran diawali dengan ‘ada’.

            Seperti dikatakan tadi, filsafat Ibn Sina secara esensial berkenaan dengan ontologi, dan kajian terhadap wujud menjadi terniscaya di dalamnya. Karena, menjadi sangat tidak mungkin meninggalkan bagian yang menjadi kajian pokok Ibn Sina ini. Jikapun diabaikan, pada saat yang sama kita mengamini bahwa kita mengingkari yang-ada-itu sendiri.

            Hakikat sesuatu (reality of think) tergantung pada eksistensinya, dan pengetahuan atas sebuah objek pada puncaknya adalah pengetahuan terhadap status ontologisnya dalam rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya. Karena, segala sesuatu di dalam Semesta (Universe), berdasar kenyataan bahwa ia ada (exist), dimasukan ke dalam Wujud (Being). (h. 52) Maksudnya adalah bahwa sejauh yang ada itu dimungkinkan, maka ia memang ada. Tentu saja terlepas dari apakah yang ada itu terlekati bentuk-bentuk partikular di bawah esensinya, yaitu wujud indrawi.

            Tapi, Tuhan, atau Wujud Murni (Pure Being), yang merupakan Asal dan Pencipta segala sesuatu, bukan merupakan terma pertama dalam rantai yang berkesinambungan dan karena itu tidak memiliki kontinuitas “substansial” dan “horizontal” dengan wujud-wujud (being) di dunia. Melainkan bahwa Tuhan lebih awal dari Semesta dan bersifat transenden jika dikaitkan dengannya. Ia adalah Tuhan sebagaimana dipahami agama-agama tradisi Ibrahim. Ia adalah Tuhan yang tidak hanya sebagaimana diakui oleh kaum Muslim pengikut Ibn Sina, tapi juga oleh para filosof Yahudi dan Kristen yang bersama-sama memiliki konsepsi umum tentang Ketuhanan Tertinggi dan yang—seperti Ibn Sina—mereformulasi ajaran-ajaran filsafat Yunani dalam term-term monoteistik. (h. 53).

            Taransendensi Tuhan dalam hal ini bersifat ajek dengan dirinya sendiri. Ada pun dalam kaitannya dengan semesta kemenjadian ini—yang bersifat meruang dan mewaktu, itu menjadi term pembahasan dalam gradasi wujud. Setidaknya di sini kita mesti memisahkan eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah). Karena, betapapun kita satukan sebuah eksistensi—terlepas dari bahwa Tuhan itu ajek dengan Diri-Nya—kita selalu akan menemui substansi dari setiap eskistensi-eksistensi. Suatu gagasan ontologis tentang kedua hal tersebut tidak bisa tidak menghadapkan kita pada kaitan yang saling membangun antara keduanya baik itu yang bersifat niscaya dan atau pun kemustahilannya.

            Dua aspek yang berbeda itu di antaranya: adalah bahwa sebuah esensi atau kuiditasnya akan tercakup dalam jawaban atas pertanyaan, apakah sesuatu itu? Karena tentu kita akan menemui jalan yang bercabang ketika misalnya ini ditarik pada esensi setransenden Tuhan. Bagaimana mungkin kita, di satu sisi, tidak memercayai sesuatu yang itu menjadi absurd jika ditolak. Selebihnya, ini akan dibicarakan dalam term-term yang lebih spesifik dalam kajian filsafat Ibn Sina.

            Kemudian selanjutnya, jika sebuah eksistensi dipikirkan maka kegiatan memilah akan terjadi. Di mana eksistensi akan dipisahkan dengan mahiyah atau esensinya. Misalkan di dalam pikiran, kita menghadirkan kuda, sudah barang tentu eksistensi kuda akan terpisah dengan kualitas esensinya, seperti bentuk dan warna. Terlepas dari bahwa sesungguhnya sebuah eksistensi di dalam pikiran akan memiliki korelasi dengan dunia eksternal. Jika di dalam pikiran kita dapat memisahkan antara eksistensi dengan esensinya, maka sebaliknya, di dunia eksternal itu menjadi sebuah kemustahilan. Bagaimana mungkin kita memisahkan kenyataan seekor kuda dengan kualitas yang melekat dengan dirinya, baik itu seperti warna dan atau pun bentuknya. Maka dalam hal itu Ibn Sina memercayai bahwa sejauh eksistensi itu ada, itu tentu ada esensi, di sisi lainnya, yang menambahi eksistensi tersebut.

            Setelah membuat pembedaan dasar, Ibn Sina menegaskan bahwa sekalipun eksistensi sesuatu ditambahkan kepada esensinya, eksistensilah yang memberikan realitas kepada setiap esensi, dan karena itu ia merupakan prinsip. Karena kuiditas segala sesuatu pada hakikatnya tak lebih dari limitasi ontologisnya yang diabstraksikan oleh pikiran (h. 54-55). Karena sejauh sesuatu ada dan dimungkinkan, pastilah sedikitnya bisa diidentifikasi. Dalam realita eksternal misalnya, analogi tentang kuda dan pemisahan antara eksistensi dengan esensinya itu tidak akan bisa dilakukan jika kuda di dunia eksternal tidak benar-benar ada. Bagaimana mungkin kita mengidentifikasi sesuatu yang benar-benar tak pernah ada dan tak teridentifikasi? Adalah suatu kemustahilan epistemik. Kemudian jika ada pertanyaan selanjutnya tentang Tuhan, karena sejauh ini Tuhan merupakan sesuatu yang bisa dikatakan—secara tidak langsung mengejawantah dalam dunia eksternal seperti kita. Kita tinggal membalikan saja dari pernyataan di atas, bahwa jika sesuatu dapat diidentifikasi sejauh ada secara eksternal, maka semua yang dapat diidentifikasi itu ada. Tentu kita dapat menyatakan bahwa identifikasi tentang Tuhan adalah dari segala macam sifat-Nya, dengan mahiyah atas sifat-Nya itu menjadikan niscaya Tuhan ada.[] (to be continued…)

Leave a comment