Kepemimpinan | Verstehn #6

Oleh: D. Andeska*)

TANPA KITA SADARI tiap perjuangan atas nama pembaharuan, tiap gerakan untuk menumbangkan yang-lama dengan yang-baru, tentu didasari adanya kecacatan dari yang-lama, yang akan diberontak itu. Dan yang-baru, tentu mengeluarkan janji yang muluk-muluk kepada rakyat.

Karena tak mungkin pembaharuan berhasil tanpa dukungan rakyat, maka rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan yang lama, semuanya ini hanyalah siasat belaka, atau mungkin janji hati nurani yang dikeluarkan oleh para pemimpin yang setelah berhasil dan maksudnya tercapai, karena mabuk kemenangan, maka dilupakan secara sengaja atau tidak sengaja janji-janji yang telah dikeluarkannya ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakannya. Dan hal ini terus-menerus berulang, yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan menonjolkan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan yang pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang paling menyedihkan, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan provokasi dan mau saja dibodohi oleh janji-janji muluk dan tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini akan muncul pemimpin-pemimpin yang mengatur rakyatnya tanpa berdasarkan kepentingan pribadi, untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar kemuliaan, kekayaan, dan kesenangan pribadi? kapankah segala semboyan dan anjuran-anjuran tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya sebagai semboyan belaka, tapi dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengucapkan ikrar sebelum tercapai maksudnya, oleh para pemimpin rakyat, sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah dapat melihatnya dan secara otomatis rakyat akan bersikap dan berwatak seperti pemimpinnya?

Pemimpin sama halnya dengan seorang ayah dan rakyat ibarat anaknya. Jadi setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan secara langsung buat anaknya, sebaliknya apa gunanya seorang ayah berteriak melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat untuk melakukan ini atau itu, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan dan kelakuan sehari-hari yang dilihat, bukan kata-kata kosong belaka yang dapat saja di keluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Mungkinkah benar apa yang dikatakan Dalang, negara akan damai dan maju serta makmur kalau seorang pemimpin punya rasa tanggung jawab seperti seorang pengembala? Yang namanya pengembala, dia akan merasa punya tanggung jawab yang besar terhadap yang digembalainya, begitu juga kalau seorang pemimpin punya rasa tanggung jawab seperti seorang pengembala dia akan mementingkan dulu yang dipimpinnya sebelum dirinya, siap mengayomi rakyatnya. Kalau pemimpin sudah seperti itu, tidak akan ada lagi yang namanya pemberontakan, dan kalaupun ada yang mempropokasi, tidak mungkin ada yang melayani atau mengikuti karena sudah merasa nyaman dan damai, peribahasa orang sunda, “sepi paling towong rampog, ngeunah nyanding, ngeunah nyandang” (kalau mampu bisa juga nyandung… hehehehe). Tapi apakah mungkin bisa terjadi?

Sedangkan sudah ada dalam Al-Qur’an entah surat apa lupa lagi (cari sendiri aja..ya) dan di lauhul mahfudznya yang menyatakan bahwa rusaknya dunia ini oleh perbuatan-perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Konon katanya malaikat sendiri mengajukan protes terhadap Tuhan (Allah). “Ya Allah, kenapa diturunkan Adam ke alam marcapada untuk menjadi khalifah, jika sudah tahu cucu dan keturunan Adam bakalan saling kucurkan darah?” Tuhan (Allah) hanya menjawab, “Aku lebih tau dari pada kalian semua.” Berarti emang sudah dari sananya, kalau kita yang namanya  manusia, selalu bersangkutan dengan darah (saling mengucurkan darah). Apakah ini yang disebut TAKDIR?

Tapi manusia, konon kata para pemikir, ditakdirkan untuk memilih yang belum menjadi akibat, kalau sudah menjadi akibat itu atas dasar pendirian atau pikiran kita sendiri yang menjalaninya, contohnya: kita mau berjalan ke kota A, kita di tentukan untuk memilih jalan C atau jalan B untuk mencapai kota A, disaat pemilihan jalan C atau jalan B itulah yang disebut takdir tapi setelah menjalani jalan C atau B yang dipilih itu sudah menjadi pendirian atau pemikiran kita sendiri. jadi baik dan buruk hasil yang diperoleh adalah atas dasar pendirian kita atau pemikiran kita. Kita tinggal memilih mau ke jalan yang mengarah ke keburukan atau yang mengarah ke kebaikan.

Kembali pada pokok akan adakah pemimpin tersebut? Atas nama rakyat, dan untuk rakyat, pada era sekarang mungkin masih disangsikan karena banyaknya contoh yang diperlihatkan oleh media masa yang canggih-canggih. Para pemimpin saat ini cenderung mementingkan diri sendiri, keluarga, dan handai taulan, tanpa memikirkan rakyat yang sekarang masih berada di bawah garis kemiskinan, kalau setidaknya tidak bisa mengangkat rakyat dari garis kemiskinan, ya minimal di pas garis kemiskinanlah. xixi

Lepas dari takdir atau bukan memang kenyataan manusia saling membunuh, dengan banyak alasan yang bisa digunakan untuk memperkuat tekad melakukan pembunuhan tersebut, entah itu alasan: Pemerintahan, Sosial, Agama, ataupun urusan Pribadi dan banyak lagi. Kita selaku manusia selalu mengagung-anggungkan yang namanya perdamaian, apakah dalam perang bisa terjadi perdamaian? Apakah dengan kita saling membunuh bisa mendapatkan perdamaian? Perdamaian mungkin bisa di dapat dari kesadaran dalam menjalani kehidupan ini dengan sabar, tanpa ada iri hati, kesombongan dan selalu dibarengi dengan rendah hati (bukan rendah diri), ini semua bisa menimbulkan kerukunan, dan akan membuahkan perdamaian, kalau semuanya berjalan seperti ini pasti tidak akan ada yang berani merebut kekuasaan atau kepemimpinan, karena dengan sendirinya rakyat merasa punya kewajiban untuk melindungi pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, serta akan bangkit melawan pemberontakan tersebut tanpa perlu pemimpin memerintahkan, karena rakyat sudah merasa nyaman dan tenang, dan sudah tidak mungkin lagi dibujuk dengan ucap yang muluk-muluk, oleh segelintir orang yang akan menggulingkan kekuasaan.[]

*) Seorang buruh di sebuah Universitas.

Leave a comment