Kejahatan: Sebuah Pengakuan | Verstehn #6

Oleh: H. Syihabul Furqon

KEKERASAN adalah sumber penderitaan. Karena apa pun alasannya yang namanya kekerasan itu selalu berimplikasi penderitaan. Seperti halnya seseorang yang menyakiti diri sendiri dan atau pun menyakiti orang yang ada di sekelilingnya. Pastilah dari sana penderitaan ditimbulkan, baik itu penderitaan fisik yang disebabkan kekerasan fisik maupun penderitaan batin yang lebih bersifat psikologis.

            Tapi, jika kita melihatnya ke depan—dalam arti jika kita melihat implikasinya, maka yang akan kita dapatkan adalah penderitaan itu sendiri. Sepertinya, alangkah lebih asyik jika kita merunut akar permasalahan yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan. Dan kemudian kita mengurai dari sebab apa kekerasan itu bisa terjadi. Karena, bukankah setiap kita—disadari maupun tidak—sepertinya memiliki akar kekerasan yang sama.

            Banyak orang yang mengatasnamakan berbagai hal demi menutupi kesalahan yang ia perbuat, dan kita ambil contoh sebuah kekerasan. Seperti halnya bunuh diri yang dari beberapa kasus menyingkap sebuah motif di balik kejadian itu, kebanyakannya menyangkut persoalan hidup. Karena persoalan yang kita alami pada dasarnya bukanlah sebuah sekumpulan teori belaka, lebih dari itu, persoalan hidup yang real lebih berat terasa. Akhirnya banyak orang yang tak dapat menuntaskan apa yang menjadi permasalahannya hari ini.

            Semua itu bukan karena orang yang kebanyakan putus asa tersebut memang benar-benar putus asa. Tapi itu lebih karena disebabkan oleh kekurang pemahamannya akan situasi yang ia hadapi. Seperti diceritakan dalam sebuah film yang berjudul A Beautiful Mind yang diadaptasi dari kisah nyata peraih Nobel tahun 1994, yakni John Nash. Ia adalah matematikawan dari Universitas Princeton yang merevisi teori ekonomi Adam Smith. Ketika ia merampungkan disertasinya, ia dihadapkan pada persoalan realitas. Semua kawan seangkatannya telah merampungkan dan malah telah diterbitkan hasil karya ilmiahnya, sedangkan dia sendiri masih berkutat pada ide-ide seputar penyusunannya. Singkat cerita ia mengalami halusinasi berat, bahasa ilmiahnya skizofrenia akibat dari penumpukan beban mental yang terlalu. Meski begitu, daya nalarnya masih tajam, itu terbukti ketika ia hampir putus asa hingga akhirnya emosi berat dan tapi ia malah mendapati sebuah jawaban akan apa yang ia cari selama ini. Hal yang membuat penyelesaian karya ilmiahnya tidak kunjung rampung adalah ia terlalu ambisius, sehingga ia hanya berkutat pada hal yang mengawang-awang. Ternyata jawaban atas tuntutan hidup bukan ada pada ketika kita menghadap pada tembok, bukan pula pada ambisi yang meluap-luap yang disebabkan oleh tuntutan lingkungan. Karena yang namanya tuntutan itu bermuatan penekanan akan sesuatu, dalam kasus di atas tututan akan penyelesaian. Dan pada waktu yang sama—yang namanya penekanan itu tidak terlalu berdampak baik pada hal apa pun.

            Nah, di sinilah persoalan realitas semakin kontras, yakni sederet tuntutan-tuntutan. Dan tuntutan itu disebabkan oleh karena ada keinginan. Maka di atas segalanya manusia dikendalikan oleh keinginan. Tapi, bukan hanya manusia saja yang memiliki keinginan, hewan pun begitu. Seperti halnya manusia, hewan juga memiliki keinginan yang lebih bersifat instingtif seperti makan dan minum juga hasrat sex.

            Karena, seperti kita semua tahu bahwa yang membedakan manusia dan hewan adalah manusia dianugrahi pikiran, sedangkan hewan hanya hasrat instingtif. Lengakaplah manusia dengan keinginan juga pikirannya. Tapi jika keduanya berat sebelah, seperti banyak kasus frustasi yang lebih disebabkan oleh keinginan dan tuntutan hidup yang saya ulas di atas, kita akan mendapati implikasi yang begitu buruk: kekerasan.

            Kekerasan pada diri sendiri maupun pada orang lain kita amini sebagai sesuatu yang menyalahi aturan, dalam arti tidak baik. Apa pun alasannya, kekerasan hanya akan menimbulkan keputusasaan yang terus beranak-pinak. Kekerasan, adalah pengalihan atas ketidakmampuan kita menyelesaikan masalah, sedangkan masalah itu secara tidak sadar adalah ulah kita sendiri. Kita—pada kenyataannya selalu mencari masalah dengan menggantung harapan, sedang harapan bermuatkan ambisi, dan ketika harapan itu tak tercapai apa yang terjadi? Frustasi, setelah permasalahan tak kunjung usai, barulah kemudian ia mengalihkannya. Pengalihan akan sebuah frustasi sebenarnya bukan hanya berbetuk kekerasan, bisa berbagai motif. Dan sayangnya banyak di antara kita hanya berkubang pada persoalan yang itu-itu saja. Kasihan sekali,..

            Dengan itu ada benarnya juga apa yang dikatakan Iwan Fals dalam satu lirik lagunya: Keinginan adalah sember penderitaan. Bagaimana tidak, toh kita melihatnya seperti itu dalam kenyataan. Namun, kiranya perlu juga disadari bahwa—selain kita hanya berkubang pada hal yang sama—kita jugalah yang mesti menghentikan sember penderitaan tersebut. Namun jika keinginan yang mesti kita pangkas, apa jadinya kita tanpa keinginan, tanpa cita-cita dan tanpa ambisi? Ini menjadi persoalan baru kiranya.

            Tanpa keingian—terlepas dari persolan instingtif—manusia akan menjadi hampa. Jika begitu, ia akan mati sebelum mati. Kerena hanya orang yang matilah yang sudah tidak memiliki keinginan. Lantas, apa sebutan bagi orang yang mati sebelum mati tersebut? Binatangkah, atau apakah?

            Persoalan kemudian akan menimbulkan pertanyaan baru lebih rumit dan menimbulkan kefrustasian baru, serta pengalihan bentuk kekerasan yang entah seperti apa kengeriannya. Dan di atas segalanya, rasionalitas juga optimisme dibutuhkan. Karena jangan-jangan persoalan hidup apa pun yang belum terselesaikan sampai sekarang, oleh siapa pun dan di mana pun, hanya disebabkan oleh ketidak pahaman kita pada situasi dan masalah yang terjadi. Karena—seperti Socrates katakan—kejahatan (kekerasan) terjadi hanya karena ketidaktahuan atasnya. Dan Muhammad Iqbal menuturkan dalam bait syairnya, “Orang yang tidak dapat mengatasi diri sendiri, ia hanya akan menjadi budak.”

            Paling tidak dengan kita mengetahui akar permasalahan, kita tidak akan menjadi orang yang frustasi juga budak atas kegilaan kita. Pun jika itu masih terjadi dan tak kunjung terpecahkan, penderitaan yang kita derita akan menjadi lelucon pribadi. Bagaimana tidak? Kita yang tahu akar masalah tapi masih tetap begitu. Saya kira ini lelucon, seperti juga Socrates berkata: Saya tahu bahwa saya tidak tahu.

            Jadi, apa itu kekerasan jika setiap kita menyadari akar kekerasan? Ia akan menjadi sirna dengan sedikit pemahaman. Dan yang kemudian terjadi, kita akan menjadi manusia keren. Paling tidak status yang akan kita sandang setelah berpengetahuan kita akan keren. Karena tidak banyak orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Bahwa jarang ada yang gila yang memproklamirkan dirinya gila. Karena dengan begitu kita telah menjadi orang yang dipandang baik karena mau mengakui apa yang menjadi kelemahannya, dan bukankah suatu tindak kebaikan jika kita menghindari sikap kemunafikan? Lantas dengan begitu, apakah kita sampai hati membiarkan angkara-murka merajalela hanya karena ulah kita sendiri?

Sumber Rujukan:

Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran dalam Islam (terj. GM dkk dari The Reconstruction of Thought in Islam). Bandung: Jalasutra.2008.

Frankle, Viktor E. Optimisme di Tengah Tragedi Analisis Logoterapi. Penerj: Lala Herawati Dharma. Cetakan I 2008 (Edisi Revisi). Bandung.

Film: A Beautiful Mind, Universal Pictures, Dreamworks Pictures, Imagine Entertainment: 2001

Leave a comment