TENTANG PERASAAN | VERSTEHN #5

Oleh: Wildan Muharomsyah

SESEKALI ia bercerita keluh kesah tentang dirinya, menatap tajam dan berbicara padaku. Di kesempatan lain ada sesuatu yang berbeda, yang berusaha disembunyikan dariku. Akan tetapi, seakan-akan matanya tak mampu berdusta, selalu ingin bicara kejujuran. Sehingga nampak begitu jelas perasaan yang dipendamnya. Entah perasaan apa yang dirahasiakannya. Mungkinkah itu luap kebahagiaan yang ia alami? Terlihat garis indah di wajahnya, yang kadang untuk meluapkanya ia teteskan air mata. Atau mungkin sebaliknya, yang tengah ia simpan adalah suatu penderitaan.

Pernahkah bertanya, mengapa perasaan itu muncul dan kita alami?

SPINOZA, sebagaimana yang dijelaskan Harun Hadiwijono, bahwa ia telah menguraikan tentang hal afek-afek atau perasaan. Manusia, sebagai makhluk terbatas, eksistensinya pun tentu terbatas. Maka perasaan dibutuhkan agar ia bisa terbuka mengalami dan memahami tiap pengaruh di luar dirinya. Yakni, tiap hal yang bertentangan dengan tabiatnya sebagai manusia-yang-mempertahankan-dirinya (conatus).

Spinoza berpendapat bahwa ada dua kemungkinan pokok dari perasaan. Pertama, jiwa yang sampai kepada keadaan yang lebih sempurna yang dihayati sebagai rasa girang atau bahagia (laetitia). Kedua, jiwa yang sampai kepada keadaan yang kurang sempurna yang dihayati sebagai rasa sedih (tristitia).

Kemudian dari dua kemungkinan pokok ini, ada tiga perasaan yang akan ditimbulkan: yaitu keinginan (cupiditas), girang (laetitia) dan sedih (tristitia). Ketiga itu adalah perasaan-perasaan yang ia sebut sebagai Perasaan Primer. Segala perasaan lainnya timbul dari ketiga perasaan itu. Yang ditimbulkan dari girang adalah kasih (amor),  rasa sedih dari kebencian (odium). Kemudian kagum (admiration) dari kasih, dan penghinaan (contempus) dari kebencian.

SELANJUTNYA, apa itu kesedihan? Menurut Al-Kindi, sebagaimana ditulis Muhammad ‘Utsman Najati, kesedihan itu adalah gangguan psikis atau neurosis. Hal ini terjadi akibat tak tercapainya hal-hal yang dicintai dan diinginkan seseorang, yang bersifat sense, maka akan menjadi sasaran bagi kesedihan. Sebab yang bersifat indrawi akan mengalami kefanaan dan kemusnahan, maka dari itu ia akan bersedih. Sedangkan jika kecintaan dan keinginan itu bersifat rasional, maka tak akan mengalami kemusnahan, dan ia akan kekal.

Sebagaimana Al-Kindi mengulasnya, “Sesungguhnya manusia cenderung ingin memiliki banyak hal yang tidak primer dalam menegakkan jati dirinya dan kebaikan hidupnya, semuanya menjadikannya menderita dalam mencarinya, bersedih karena kehilangannya, dan menyesal sebab atas berlalunya. Maka menganggapnya setiap yang hilang dari keinginannya adalah suatu musibah, dan setiap yang berlalu adalah penyesalan dan menunggu yang ketidakadaan dari dirinya adalah hanya kesedihan dan keresahan.”

Kesedihan berawal dari ketakseimbangan diri, hingga membuat ia kehilangan kesadaran akan ‘pemberian’. Sebab pada saat itu, keadaan diri jadi terperangkap dalam jiwa yang kosong.  Artinya, yang ada hanyalah sesuatu yang sudah musnah dari dirinya. Manusia selalu akan mengalami kehilangan yang dicintai atau yang dicari. Atas dasar itu hanya perasaan sedihlah yang menyelimuti. Memang perasaan itu tak diajarkan oleh sesuatu di luar diri manusia. Sebab perasaan sedih itu sudah menjadi pengetahuan alamiah yang datang dengan sendirinya.

Kesenangan yang kurang sempurna tak harus menuntut kesedihan. Tapi sejauhmana menyikapi gejolak jiwa yang selalu di bawah kontrol rasio untuk menerima. Apakah itu ada dalam diri atau di luar diri, yang dianggap begitu dicintai, hingga jika pergi akan sulit menerima semua realitas.

Al-Kindi menawarkan untuk mencegahnya. Jika ingin terhindar dari kesedihan, ia harus menyaksikan dunia rasional serta membuat kecintaan, kepemilikan dan keinginan harus berasal dari dunia rasional. Artinya, jika manusia mengetahui seluruh yang ada di alam ini tidak abadi, yang abadi adalah apa yang ada di dalam akal.

Di sini yang dapat kita lakukan adalah bagaimana terhindar dari perasaan itu sehingga tak menyimpannya sebagai gangguan rasa sedih. Melainkan lagi-lagi menjadikan kecintaan dan keinginan itu disangsikan sebagai dunia yang bersifat rasional yang selalu abadi dan kostan tidak akan mengalami kehancuran dan kefanaan. Sebenarnya orang yang selalu bersedih adalah orang yang memiliki terlalu banyak hal yang sangat dicintai. Sehingga setiapkali, ada sesuatu yang hilang yang ia banggakan, merasa sedih.

AKHIRNYA kita harus menanggalkan yang ‘terlalu-dicintai’ agar kurang rasa sedih ketika lenyap. Oleh karenanya, manusia harus mengingatkan dirinya tentang hal itu. Ia harus mendorong dirinya kembali pada kehidupan lebih baik, dan berupaya membuat dirinya lupa atas kehilangan, kedukaan, dan kesedihan, hingga kondisi semula muncul kembali.

Dalam kamus pribadi filsuf, tak ada istilah ruang bagi berkesedihan dalam diri. Konon, Sokrates ditanya tentang keadaanya yang selalu bersemangat. Ia bilang “Karena aku tidak menyimpan sesuatu yang membuatku bersedih jika ia hilang dariku.”

Maka masihkah tetap bersedih? Cukuplah sampai di sini saja mengiringinya. Sebab hidup tak menuju belakang, maka terang ia tak akan kembali lagi.[]

SUMBER BACAAN:

Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat Barat II. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Najati, Muhammad ‘Utsman. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim (terj. Gazi Saloom dari Ad-Dirasat An-Nafsaniyyah ‘inda al-’Ulama al-Muslimin). Bandung: Pustaka Hidayah. 2002.

Leave a comment