SARTRE DAN ATHEISME | VERSTEHN #5

Oleh: M. Rais Alfatoni

ADA DUA PILIHAN dalam kehidupan manusia dan kebebasannya. Menerima adanya Tuhan, sehingga dirinya tidak bebas karena segalanya ditentukan oleh Tuhan, dan menolak adanya Tuhan, kebebasan menjadi suatu hal yang mungkin bagi umat manusia. Jean Paul Sartre (1905-1980), Filsuf berkebangsaan Prancis yang terkenal dengan filsafat eksistensialis ateisnya, sehingga menghasilkan konsep ateisme humanistik di abad 20. Abad yang penuh dengan peperangan antar umat manusia, termasuk dengan yang mengatasnamakan agama. Banyak kaum muda yang akhirnya gemar membaca karya-karya Sartre, Sartrian menjadi populer dikalangan kaum muda Eropa termasuk juga di Asia.

Sartre kemudian memilih tak mengenal Tuhan dan kebebasan total yang diungkapnya lewat pendekatannya mengenai kesadaran manusia. Jikalau saja Tuhan itu ada dan berposisi sebagai pencipta, maka segala yang ada di muka bumi ini termasuk manusia adalah ciptaaNya, dan tentulah dengan kata kodrat yang melekat padanya. Manusia sudah ditentukan oleh kodratnya. Manusia dengan kata lain tidaklah bebas dan sudah terdeterminasi oleh kebebasan yang Tuhan miliki. Semuanya sudah ditentukan Tuhan. Maka jika ingin bebas, rumusannya adalah dengan ‘menidak’ sesuatu yang ingin menentukan kebebasannya, termasuk dengan menidak Tuhan.

“Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first principle of existentialism.” Begitulah asas pertama dari filsafat eksistensialisme Sartre. Untuk memahami manusia, maka harus pula memahami sisi subjektivitasnya. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan pernah selesai dengan ikhtiarnya dalam menentukan dirinya sendiri. “Man is nothing else but he plan; he exist only to the extent that he fulfills himself; he is therefore nothing else than the essemble of his acts, nothing else than his self.” Apapun eksistensi kita, maka diri sendirilah yang bertanggung jawab. Dalam memilih kesempatan, manusia dapat memilih yang baik bagi dirinya dan menolak yang tidak baik bagi dirinya. Sehingga tidak bisa mempersalahkan orang lain, terlebih terhadap Tuhan yang sering dijadikan tempat bergantung.

Paham kebebasan total dan tanggung jawab total yang dikemukakan Sartre ini tidak terlepas dari konsep tentang ‘ada’, tentang cara berada. Menurutnya cara manusia berada tidak terlepas dari cogito, yaitu kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri. kesadaran selalu mengarah terhadap yang lain di luar diri yang menyadari (intensional). Kesadaran tidak terpaku pada dirinya sendiri, selalu bersifat mendunia., terarah pada dunia. Kesadaran akan dirinya, tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya. Untuk melihat lebih jelas rumusan Sartre tentang kesadaran, maka muncul istilah etre en soi (ada pada dirinya) dan etre pour soi (ada bagi dirinya).

Etre en soi (ada pada dirinya), dipahami sebagai ada yang identik dengan dirinya, tidak terfokus pada kesadaran. Ia tidak aktif, tidak juga pasif. Tidak afirmatif, tidak pula negatif. Tidak punya masa silam dan masa depan, tidak punya kemungkinan dan tujuan. Ia ada begitu saja. Artinya, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. Ada meja, ada cermin, ada lemari, ada benda-benda lainnya.

Para fenomenolog termasuk Sartre, sepakat bahwa kesadaran tidak boleh dipisahkan dari dunia, bersifat intensional. Berlawanan dengan cogito Descartes yang berkesadaran non-dunia. Namun ada penekanan lain dari Sartre, bahwa kesadaran tidak boleh disamakan dengan benda-benda. Sehingga, muncul dalam istilah Sartre yang lain, etre pour soi (ada bagi dirinya), untuk menunjukan kesadaran. Etre pour soi bukanlah benda-benda dan sangat berbeda dengan etre en soi (ada pada dirinya).

Etre pour soi (ada bagi dirinya), kesadaran akan dirinya adalah kesadaran akan sesuatu yang lain. Kesadaran selalu bersifat intensional. Artinya, kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran akan dirinya.  Etre pour soi adalah suatu ada yang merupakan khas manusia, yang ditandai dengan kesadaran penuh yang tidak identik dengan dirinya. Namun, memiliki kemampuan untuk menolak atau menegasikan apa yang menentukan dia. Akhirnya, dengan etre pour soi, manusia bisa memperoleh kebebasan yang memang merupakan dasar bagi manusia itu sendiri. Tidak terdeterminasi oleh yang lain dan mampu memproyeksikan dirinya sesuai dengan keinginannya.

Kesadaran manusia atau cara berada manusia juga akhirnya membedakan dan menembus kejelasan dalam etre en soi, adanya benda-benda. Manusia mampu menyadari dirinya bahwa bukan bagian dari apa yang disadarinya. Ketika manusia sadar akan sesuatu, manusia juga sadar bahwa sesuatu itu bukan dirinya. Seperti saya yang sedang bertengkar dengan orang lain dengan masing-masing membawa perkakas yang tajam, saya menyadari sebagai orang yang sedang bertengkar, namun saya tidak identik dengan orang yang bertengkar itu. Karena bisa saja, saya berhenti bertengkar lalu mengambil segelas kopi dan sebatang rokok, bersantai di bawah pohon rindang. Kesadaran berarti mengambil jarak, distansi dan non-identitas. Kesadaran sama dengan kebebasan. Ciri dalam etre pour soi, adalah negativitas itu sendiri.

Tuhan… bagaimana dengan Tuhan? Apa Dia termasuk dalam etre en  soi yang berada dengan sendirinya dan tidak berasal dari turunan yang lain. Atau bagian dari etre pour soi yang tidak terikat apapun dan bebas mau melakukan apa saja. Cara berada (being) Tuhan adalah being in it self-for it self. Tuhan mempunyai identitas yang penuh. Yang memuat keduanya, etre en soi dan etre pour soi. Karena Tuhan bersifat yang ajek, tidak berubah, abadi (etre en soi), berkehendak, berkesadaran, dan mempunyai kebebasan (etre pour soi). Sartre menolak persatuan semacam itu. Bagaimana mungkin dua hal yang bertentangan dan memuat banyak perlawanan dapat bersatu dalam satu entitas. Konsep Tuhan memuat perlawanan dalam dirinya sendiri (self-contradiction).

Kata “menidak” dalam diri manusia mengandung kebebasannya. Dia bisa menolak segala hal yang tidak diingkannya. Hal ini juga yang menjadi penolakan terhadap kata kodrat. Kodrat dalam arti membuat manusia sudah ditentukan sebelumnya ketika diciptakan oleh sang Pencipta. Lebih lanjutnya, jika semua yang ada di alam ini sudah ditentukan dengan kepenuhan oleh penciptanya, maka di situ tidak ada lagi usaha untuk merubah diri, karena yang menentukan dan mengendalikan adalah penciptanya. Di sinilah letak keberatan Sartre mengakui adanya Tuhan. Karena jikalau Tuhan ada, manusia menjadi tidak bebas, manusia diumpamakan sebagai etre en soi, yang ada begitu saja, tanpa perubahan, dan ini bertolak belakang dengan kemenjadian manusia dalam setiap geraknya. Manusia itu bebas, manusia itu merupakan subjek yang berkesadaran dan mempunyai proses ‘menidak’ dalam menentukan pilihannya.

Tuhan ada dalam konsep pemikiran manusia karena ada hal yang perlu dijelaskan, namun tidak dapat dijelaskan. Tuhan diproyeksikan manusia sebagai wujud ketidakmampuan menerangkan sesuatu, dengan cara aturan yang mengikat, agar manusia bisa menjalankan kehidupannya yang tertib dan selaras dengan alam. Namun semua itu jadi bahan pikiran di abad Sartre hidup. Peperangan yang menghabiskan puluhan juta nyawa umat manusia yang seringkali mengatasnamakan suatu kepentingan religius, baik yang tersirat maupun yang tidak tersirat menjadi suatu argumen Ateis oleh pemikir Prancis ini.

Kebebasan yang penuh tanggungjawab. Maka moral yang bebas pun, fundamennya adalah tanggungjawab sepenuhnya. Itulah yang diungkap Satre untuk membantah pendapat orang beragama yang menolak pikiran tentang kebebasannya.

“Human reality is free, basically and completely free,” ungkap Sartre.

 

SUMBER BACAAN

Hasan, Fuad. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. 1992.

K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia. 2006.

J. P Sartre. Kata-kata (terj. Jean Couteau dari Les Mots). Jakarta: KPG. 2000.

Driyarkara, Jurnal Filsafat. Ateisme Modern. Thn. XXX No.1/2009. Jakarta.

Leave a comment