MATA HORUS | VERSTEHN #5

Oleh: Faridz Yusuf

SAYA INGAT BOCAH KURUS, dengan mata yang bolor, dipaksa sang Ayah yang patriotis bertempur ke medan perang. Itulah John Kipling, kisah yang dituturkan pada kita lewat film My Boy Jack.[1] Ini tentu bukan film sihir, meski Kipling diperankan Daniel Radcliffe, pemeran Harry Potter.

Alkisah, Inggris tahun 1914, ketika mulai pecah perang dunia satu. Rudyard Kipling, ayah John, adalah penulis ternama Inggris, berusaha merayu kerajaan Inggris agar memasukkan John di Angkatan Darat. Usaha Rudyard sempat ditolak, tetapi akhirnya John diterima di Angkatan Darat. Pada tahun 1915, John dikirim ke Prancis ke perang Battle of Loos. Di perang itu, John dinyatakan hilang. Keluarga Rudyard dirundung duka. Film yang dirilis 20 April 2008 itu, tak mempunyai efek sound yang baik, sebab isinya adalah efek dramatis. Sutradaranya, Brian Kirk, selama 95 menit akan menyeret pada keadaan itu: bagaimana jadinya menghadapi perang dengan mata yang bolor?

Film itu mengingatkan kita bahwa mata penting bagi kehidupan. Oleh karena itu, telah dikembangkan instrumen untuk membantu agar mata dapat melihat dengan baik, yakni kacamata. Namun demikian, dalam budaya manusia, mata tak hanya dimaknai sebagai yang fisis, namun bergeser jadi metafor unik. Ia tak hanya dimaknai sebagai yang instrumentalis, makna mata bergeser mulai dari bentuknya yang mitis hingga politis. Hal-hal tersebut akan kita bahas lebih lanjut.

Kacamata

Di era ini, segala sesuatu telah menampilkan fungsi dalam jumlah besar pada hal-hal visual. Ini adalah abad visual, kata Synnott, ia tak hanya sebagai representasi diri (Sartre dan Ponty), namun juga politis (Foucault). Oleh karena itu, mata kemudian menjadi hal penting, tidak hanya secara fisis, namun juga dalam hubungan simboliknya dengan sosial dan religius.

Secara fisiologis, mata yang normal (emetropy), titik terdekat mata (punctum proximum) berjarak 10 cm – 20 cm untuk anak-anak dan 20 cm – 30 cm untuk orang dewasa, sedangkan titik terjauh mata berjarak tidak terhingga. Untuk mengatasi gangguan atas kenormalan tersebut, dikembangkan instrumen untuk membantu penglihatan, yakni kacamata. Konon, kacamata mulanya dimiliki oleh masyarakat di kota kuno Niniwe. Mereka mengenal kacamata yang berfungsi sebagai kaca pembesar dengan materi lensa dari kristal. Bangsa Yunani kuno menggunakan bola kaca berisi air.

Kisah cukup terkenal muncul di kaisar Nero—yang berkuasa di Roma pada tahun 54 sampai 68 Masehi—yang kerap menggunakan batu permata cekung untuk membaca hingga menonton pertunjukan. Adapun Bangsa Cina membuat kacamata itu terbuat dari lensa berbentuk oval besar dan terbuat dari kristal batu serta bingkai dari tempurung kura-kura. Bagi bangsa Cina waktu itu, kacamata hanya digunakan sebagai jimat atau hanya sebagai asesoris agar terlihat menarik.

Pada umumnya di Eropa abad ke 13 atau Jerman abad 16 kacamata hanya berfungsi sebagai kaca pembesar. Namun konon lensa untuk mengoreksi penglihatan telah digunakan Abbas Ibn Firnas abad ke 9. Ia menemukan cara membuat lensa jernih yang dibentuk dan diasah menjadi batu bulat yang dapat digunakan untuk membaca sehingga terkenal dengan istilah batu membaca.

Lutfallah Gari, peneliti sains dan teknologi Islam dari Arab Saudi, dalam The Invention of Spectacles between the East and the West, mengungkapkan fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham (965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk Al-Manazir (tentang optik) telah mempelajari masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu al-Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.

Menurut Lutfallah, penemuan kacamata dalam peradaban Islam terungkap dalam puisi-puisi karya Ibnu al-Hamdis (1055 M-1133 M) lewat syairnya antara lain: “Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda bening seperti air, tapi benda ini merupakan batu. Benda itu meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah gambar sungai yang terbentuk dari keringatnya,” tutur al-Hamdis.

Al-Hamdis melanjutkan, “Ini seperti seorang yang manusia yang pintar, yang menerjemahkan sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan. Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi orangtua yang lemah penglihatannya, dan orangtua menulis kecil dalam mata mereka.” Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris itu mengatakan, “Benda ini tembus cahaya (kaca) untuk mata dan menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari batu (rock)”. Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan kacamata sebagai berikut: “Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti sebuah sungai”.

Sir Joseph Needham, menunjukan bahwa kacamata ditemukan 1000 tahun lalu di Cina dan tersebar ke seluruh dunia pada zaman kedatangan Marco Polo pada tahun 1270. Pada tahun 1784, Benjamin Franklin, seorang ilmuwan Amerika, berhasil menemukan kacamata bifokal yaitu kacamata yang dapat dipergunakan untuk melihat baik untuk jarak jauh maupun jarak dekat.

Sejak saat itu, berkembanglah berbagai jenis kacamata. Kacamata hitam, anti UV, bahkan kacamata 3D. Namun demikian, yang lazim berkembang di masyarakat adalah kacamata berlensa Konkaf, Bifokal, dan Konveks serta Silindris. Lensa konkaf diharuskan bagi para penderita rabun jauh (miopi). Hal ini terjadi akibat di mana mata tidak mampu melihat benda-benda yang jauh sehingga cahaya jatuh di depan retina.

Adapun konveks diharuskan bagi penderita rabun dekat (Hipermetropi) akibat mata tidak mampu melihat benda yang dekat sehingga cahaya jatuh di belakang retina. Dan lensa bifokal untuk yang penderita karena umur, akibat tidak mampu melihat jelas benda-benda jarak jauh maupun jarak dekat. Sedangkan untuk penderita silinder (Astigmatisma) yang tidak mampu membedakan garis lurus akibat ada yang tidak rata pada bagian mata sehingga ketika cahaya dipantulkan maka tidak rata pula pada retina mata. Untuk mengatasi masalah ini, dapat menggunakan lensa silinder.

Kacamata secara materi telah cukup juga bergeser. Pertama kali dibuat dari batu, kaca, plastik, hingga operasi lasik untuk membantu menyebuhkan kemampuan penglihatan. Di zaman ini, menggunakan hacamata tak hanya sebagai instrument bantuan untuk melihat, namun telah terjun sebagai mode, ekspresi, dan pertunjukan identitas.

Mata Horus

Dalam aspeknya yang mitis, mata simbolik digunakan bangsa Mesir untuk menggambarkan Horus. Horus adalah dewa matahari, putra dari Isis (dewi kesuburan) dan Osiris (raja dan hakim kematian). Mata Horus adalah simbol kekuatan gelap bermakna ‘Maha Tahu’ dan ‘Maha Melihat’, yang dilukis dalam hieroglips pada dinding-dinding Piramid. Simbol mata dalam pengertian ini adalah sebagai yang negatif. Ia adalah Dajjal, bermata satu. Dalam hal ini, Mata = Penglihatan = Kegelapan = Negativitas = Dajjal.

Bagi masyarakat yang banyak disentuh Islam, makna mata yang Maha Tahu dan Maha Melihat ada dalam pengertian mistis-positif. Dalam teks bahasa Jawa dan Sunda, misalnya, ada yang disebut dengan Maha Manon (panon = mata?) yang artinya Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Dalam hal ini Mata = Penglihatan = Cahaya = Matahari = Tuhan. Begitu juga yang kemudian dituturkan oleh Synnott, dalam bahasa ingris kata see tak hanya diartikan sebagai bentuk mata fisisnya, tapi menampilkan sejumlah tindakan pengetahuan, kepribadian, komunikasi intersubjektif, bahkan ketuhanan.

Pada oposisi ini, ada banyak tarikan aspek ideologis. Kaum non-Yahudi, misalnya, menyatakan bahwa mata yang digunakan Yahudi adalah dalam pengertian yang negatif, sebagai yang jahat, Dajjal. Sedangkan dalam tradisi mistik, mata adalah representasi positif dari Tuhan. Dalam mistik Islam, misalnya, mata-Tuhan ini adalah penting sebagai ukuran keihsanan seseorang, atau sebagai bagian dari makna simbolis atas adanya sang Mata yang mengawasi, muraqabah.

Dalam mata yang negatif inilah, akhir-akhir ini simbol mata menjadi satu pengertian, yakni betendensi gelap dan jahat. Pada pengertian ini, simbol mata kerap dikaitkan dengan jejak Zionisme, Freemason, Illuminati. Artinya, makna Mata = Kegelapan = Yahudi = Sesat = Setan. Hegemoni makna simbolik mata ini secara tak langsung menyingkirkan maknanya yang mistis dan positif, khususnya banyak kalangan mistikus yang menyadari akan Tuhan Maha Melihat menjadi terkesan, bahkan sangat diartikan sebagai sepenuhnya sesat.

Dalam pergeseran mata yang ideologis ini, banyak bermunculan simbol, dan diartikan sebagai Jahat, sebab ia lahir dari Yahudi. Simbol ini adalah simbol The Eye of Providence. Konon, simbol ini dari tahun 1782 saat Kongres Amerika Serikat menunjuk William Barton, pengacara muda Philadelphia, untuk merancang simbol negara. Barton mengajukan desain piramida dengan tiga belas undakan, dengan puncak terpenggal dan digantikan figur sebentuk mata dalam bingkai segitiga dua dimensi (Eye of Providence). Moto yang disertakan Barton adalah Deo Favente Perennis, by the Grace of God. Barton menjelaskan bahwa Deo (Deus, Dieu, God) dengan The Eye of Providence adalah identik. Dengan kata lain, Eye of Providence (Mata Sang Pemelihara) Barton merupakan signans grafis-visual dari eksistensi Sang Maha Pencipta.

Simbol mengenai mata ini memang terdapat dalam Freemason. Dalam The Craftsman, and Freemason’s Guide, Cornelius Moore menulis All seeing-eyes:

Whom the Sun, Moon, and Stars obey, and under whose watchful care even comets perform their stupendous revolutions, beholds the inmost recesses of the human heart, and will reward us according to our works. (p.72).

Bahkan, Amerika secara gamblang menggunakan simbol tersebut dalam logo negara dan uang. Ungkap Alexander James dalam The Hidden History of Money & New World Order Usury Secrets Revealed at Last,

This Illuminati seal shown on the US$ bill is also emblazoned on Masonic Lodges. It’s also known as the shining delta (change, transition) or pyramid of their so-called enlightened age which to us is slavery. The eye signifies the Illuminati’s ability to infiltrate and watch over all matters. Novus Ordo Seclorum is Latin for New Secular or Secret Order and contradicts with IN GOD WE TRUST. This Masonic seal made its way on the dollar bill through Vice President Henry Wallace and President Franklin D. Roosevelt as the “New Deal”, both well-known Masons. (h.573)

Roger Garaudy, memilah keadaan ini agar jernih. Ia menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara Zionisme sebagai gerakan keagamaan dan gerakan pemikiran. Menurutnya, Zionisme spiritual yang tidak mengenal program politik tidak pernah mengakibatkan perselisihan di antara kelompok-kelompok masyarakat Yahudi serta penduduk bangsa Arab, tidak perduli apakah mereka memeluk agama Islam ataukah menganut agama Kristen. Akan tetapi, lanjut Garaudy, Zionisme sebagai gerakan ideologis-politis, ciri dan sifatnya yang kolonialis—juga dasar hikayat purbanya (historis dan injili) yang diliputi malapetaka—bersikap mengingkari agama secara radikal dan menentang Yudaisme sebagai sebuah agama, melainkan harus satu-bangsa.

Dalam keadaan itu, kita menjadi ragu jika menarik simbol mata Horus ini  pada ranah tak religius. Sebab, yang terkandung dalam makna simboliknya kerap dimasifkan propaganda Zionisme sebagai gerakan politik. Padahal Zionis spiritual mengikuti tradisi Abraham, yang mempercakapkan ketakjuban personal akan Tuhan. Kita tahu, Ibrahim adalah sosok yang banyak diterima dalam agama apapun. Sehingga, kesamaan leluhur yang Ibrahimik ini menjadikan Zionis spiritual tak mendapat pertentangan.

Rabbi Michael Laitman dalam The Hidden Wisdom of Kabbalah: With Ten Complete Kabbalah Lessons menegaskan,

The first Kabbalist we know of was the patriarch Abraham. He saw the wonders of human existence, asked questions of the Creator, and the upper worlds were revealed to him. The knowledge he acquired, and the method used in its acquisition, he passed on to coming generations. Kabbalah was passed among the Kabbalists from mouth to mouth for many centuries. Each Kabbalist added his unique experience and personality to this body of accumulated knowledge. Their spiritual achievements were described in the language relevant to the souls of their generation. (p.25).

 

Panopticon

Jika di atas telah diuraikan mata pada persoalan mitis-ontologis, lalu efek simboliknya pada ideologis, kini kita pusatkan fungsinya yang radikal, yakni mata yang kerap mengawasi dalam pengertiannya yang kuasa-politis, sehingga seorang individual tak diperkenankan memiliki secuil rahasiapun.

Menurut Hikmat Budiman dalam Menarasikan Cyberspace: Sebuah Pemetaan Teoritis Awal, bahwa Jeremy Bentham dalam Panopticon; Or The Inspector House (1787) membuat proposal tentang model yang bisa dipakai untuk membangun sistem penjara yang total bisa dikontrol. Konsep ini memungkinkan pengawas untuk mengawasi (-opticon) semua (pan-) tahanan, tanpa tahanan itu bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati. Konon, bagi arsitek Panopticon ini disebut “sentimen kemahatahuan yang tidak terlihat”. Dalam Panopticon satu orang pengawas di menara bisa mengawasi aktivitas banyak orang dalam tahanan. Yang dikembangkannya adalah sebuah model pengawasan melalui segelintir kecil orang (para sipir atau pengawas, dan atasannya) secara konstan mengawasi banyak orang (the few watch the many).

Panopticon ini lalu banyak dikupas oleh Michel Foucault. Tokoh yang sulit untuk dimasukkan pada kategori pemikiran tertentu ini, memberikan makna politis. Artinya, simbol mata bergeser menjadi pada aktivitasnya, yakni melihat, dan dalam tendensi kuasa, ini lebih berarti sebagai bentuk pengawasan. Menurut Foucault, sebagaimana ditulis Bambang Sugiharto dalam Foucault dan Posmodernisme, konsep diri manusia hanyalah produk diskursus, praktik-praktik, institusi, hukum ataupun sistem-sistem administrasi belaka, yang anonim dan impersonal namun sangat kuat mengontrol.

Bagi Foucault, sebagaimana yang dipaparkan Hikmat, arsitektur sistem Panopticon dilihatnya sebagai praktek seklusi (pemisahan) dalam sebuah lokasi yang secara total bisa dikontrol, dan relasi kuasa beroperasi secara langsung. Caranya adalah dengan menciptakan sebuah kondisi kesadaran pada diri tahanan, dan menempatkan mereka pada lokasi yang selalu bisa dilihat (permanent visibility) dari menara pengawas. Pada saat yang sama, kekuasaan tetap tampak tapi tidak bisa diverifikasi (visible and unverifiable). Kekuasaan menjadi sebuah tatapan tak berwajah (faceless gaze) yang akan terus mengawasi seluruh tingkahlaku mereka. Foucault sampai pada kesimpulan bahwa Panopticon adalah sebuah bentuk arsitektur yang efisien, sinambung (continuous) fleksibel, dan komprehensif untuk melakukan pendisiplinan. Efisien karena ia hanya bergantung pada cara dan pengaturan posisi para tahanan. Sinambung atau konstan karena mereka yang diawasi tidak menyadari kapan menara pengawas berisi pengawas dan, karenanya, dipaksa bertingkah laku seolah-olah pengawas hadir setiap saat, dan pengawasan berjalan terus-menerus. Fleksibel karena metode tersebut bersifat multi-guna (bisa dipakai di sebuah penjara, rumah sakit, atau tempat kerja), dan siapa saja bisa mengambil peran sebagai pengawas atau yang diawasi. Komprehensif karena bukan hanya mereka yang diawasi yang diatur, dimonitor dan dikontrol melalui pengawasan, melainkan juga si pengawasnya sendiri. Aktivitas pada menara pengawas bisa mengelabui tingkah laku setiap orang yang terlibat.

Suatu saat Paul Rabinow bertanya pada Foucault, “Do you see any particular architectural projects, either in the past or the present, as forces of liberation or resistance?”. Jawab Foucault, “I do not think that it is possible to say that one thing is of the order of ‘liberation’ and another is of the order of ‘oppression’. … The liberty of men is never assured by the institutions and laws that are intended to guarantee them. This is why almost all of these laws and institutions are quite capable of being turned around. Not because they are ambiguous, but simply because ‘liberty’ is what must be exercised.” (p.135)

Dalam aktivitasnnya, panopticon ini bergeser pada hal digital. Di antaranya kerap membuat pengawasan, atau kita terasa diawasi, adalah Internet sebagai superpanopticon sebagai sistem pengawasan yang tanpa dinding, jendela, menara, atau pengawas (Mark Poster); dan CCTV, GPS, microchip, dan lain-lain. Dengan demikian, pengawasan tidak dilakukan melalui satu lokasi melainkan tanpa ketergantungan sama sekali dengan ruang. Pengawasan dapat berlangsung di mana saja dan kapan pun. Ini adalah bentuk dari panopticon, sebab di sana, di sebuah ruang kuasa, ada yang hendak mengawasi, baik melalui substitusi-substitusi matriks, maupun dalam pengawasan intelejen.

Dengan demikian, eksistensi panopticon adalah perpanjangan mata dalam artiannya yang fisis. Kita telah mengerti bahwa mata metafor adalah geseran yang mitis hingga ke taraf kuasa yang hendak mengatur hal individual sekalipun. Tak hanya itu, mata lalu direkonstruksi ke dalam teknologi sampai meninggalkan bentuk fisisnya, dan yang tersisa adalah dari segi fungsinya sebagai pengawas. Sehingga, tak ada seorangpun, di zaman ini, yang benar-benar sendiri, dan bebas.

Tekno-Horusian

Kini kita mengerti bahwa mata telah merepresentasikan dirinya tidak hanya secara mitis dan ideologis, bahkan ke ranah politis. Namun hal yang mengejutkan ada di wilayah teknologis. Sebab kecintaan pada Horus, dalam hal ini, masih melekat sebagai suatu yang luar biasa. Sebelumnya, Horus merupakan simbol mitik yang kemudian dipersepsi sebagai gambaran ideal (Oposisi Tuhan-Setan), kemudian bergeser maknanya menjadi politis pada Foucault lewat panopticon, dan akhirnya bentuk panopticon itu sendiri dalam mutasi teknologi. Namun bayangkan jika teknologi itu, komputer misalnya, adalah masih bagian dari representasi dari Horus!

Kita harus cermati hal berikut. 2 Maret 1999, Richard Hoagland membuat penampilan pada FOX siaran khusus yang disebut “Menguak Kuburan yang Hilang”. Ia menolak pernyataan bahwa Piramid dan Spinx betul-betul diciptakan oleh bangsa kuno sebagaimana yang dipaparkan ahli sejarah. Ia menunjuk pada relief pesawat terbang di sebuah kuil yang dibangun oleh Firaun Seti I di Abydos yang merupakan pusat kultus yang digunakan untuk menyembah Osiris.

Selain hal itu, beberapa fakta menetapkan bahwa Tata letak Temple of Horus menyerupai kumpulan CPU, sebuah chip BIOS, RAM chip dan sebuah soket Co-Processor yang ditemukan di zaman sekarang sebagai komputer modern. Hal ini kemudian diteliti oleh Perez, ahli elektronika. Ia menyadari bahwa belakang bagian Timur kuil mirip dengan struktur mikroprosesor. Ujung sebelah Timur, memiliki struktur serupa bagian dalam CPU. Bagian yang lebih kecil terdiri dari ruang yang mengelilingi Aula/Hall, disebut Vestibule dan area aula itu dinamakan Naos di mana terdapat patung dewa Horus. Ruangan itu mengelilingi Ruangan bagian Timur dan menjadi tempat untuk menyimpan benda-benda atau informasi, mungkin digunakan dalam ritual. Di dalam CPU, segmen yang dikenal sebagai register melaksanakan tugas menyimpan informasi untuk diproses kemudian.

Ruang bagian dalam berikutnya adalah Vestibulum, yang didefinisikan dalam kamus Webster’s Dictionary sebagai “tempat pelatihan untuk mengakses sesuatu yang baru”. Dalam hal serupa, dalam perhitungan aritmetik dan logika bagian itu adalah bagian sebuah CPU yang merupakan bagian luar dari sebuah mikroprosesor yang mengakses ke area utama disebut Control Unit. Naos, adalah pusat dari kuil dan secara simbolis merupakan ruang kontrol dan ruangan untuk melakukan semua ritual dan tradisi bersama. Dalam fungsi yang sama, Control Unit adalah pusat kontrol dari CPU dan bekerja bersama-sama dengan semua bagian lain dari sebuah mikroprosesor.

Sebelah kanan bawah dari bagian dalam adalah tempat suci dan dalam/daerah CPU adalah dua bagian kecil yang menyerupai miniatur chip sirkuit terintegrasi yang digunakan dalam sistem komputer sebagai clock bagi CPU. Di pintu masuk ke bagian dalam kuil Horus adalah sebuah daerah yang disebut “Ruang Persembahan” yang merupakan lorong, yang berisi bagian menuju ruang “Second Hypostyle”. Dalam Cache CPU berisi data yang harus dibawa dari luar, terutama dari komponen berikutnya dari sebuah komputer, chip BIOS. Chip BIOS berfungsi “boot up” CPU untuk memastikan bahwa semua lampiran tersebut pada tempatnya, transfer kontrol ke BIOS dan load program yang akan digunakan ke dalam Random Access Memory (RAM). Dalam arti yang sama, ruangan “Second Hypostyle” adalah tempat berkumpul untuk melakukan ritual yang harus dijalankan untuk “menyembah dewa” sementara ruang lain yang berada pada lorong kuil ini adalah untuk melakukan ritual “penyembahan dewa” dan ritual akan segera dilakukan dan digunakan dalam tradisi perayaan ritual bagi mereka yang ada di sebelah luar “hypostyle” yang sifatnya sementara.

Halaman terbuka dari kuil ini memiliki beberapa pilar sekitarnya di dinding pada tiga sisinya. A soket yang digunakan untuk menahan seorang co-prosesor chip (atau Floating Point Unit) pada motherboard komputer akan menjadi logis bila dibandingkan dengan bagian ini, jika “pilar” ditafsirkan sebagai “lubang” dan daerah terbuka adalah daerah hampa dari “soket”. Dalam kasus kuil tadi, “komputer” adalah Peradaban Mesir dan “program” adalah sebuah perayaan yang diadakan di luar ruang bagi mereka hypostyle tidak memenuhi syarat atau diharuskan untuk berada di dalam tempat kudus atau bersifat anggota sementara.

Penutup

Demikianlah analisis Perez, menggelikan juga bikin kagum. Bahkan kekuatan Horus melekat pada manusia, ia hidup dalam ingatan manusia, yang bahkan telah mendidik kita lewat games egyptiasentric, mulai dari Zuma hingga Mysteries of Horus.  Bisa jadi, justru terbalik: kita adalah sederet subjek yang tengah dimainkan Horus dalam gamesnya, dalam model-model simboliknya yang anggun. Mungkin Horus tak mati, dan kita sedang diawasinya.[]

Catatan:

[1]. Judul Film: My Boy Jack | Genre: Drama – Action | Sutradara: Brian Kirk | Produser: Michael Casey – Douglas Rae | Penulis Skenario: David Haig | Studio Produksi: Ecosse Films | Distributor: BBC England | Negara: Inggris | Bahasa: Inggris | Durasi: 95 menit | Tahun Rilis: 20 April 2008 (Amerika) | Penghargaan yang diperoleh: BAFTA TV Award 2008, Best Make Up & Hair Design (Menang), Best Production Design (Nominasi), Golden FIPA 2008, Best Screenplay: David Haig (Menang), Magnolia Award 2008, Best TV Film Silver Award (Menang) | Pemeran: David Haig  sebagai  Rudyard Kipling, Daniel Radcliffe  sebagai  John Kipling. Kim Cattrall  sebagai  Caroline Kipling, Carey Mulligan  sebagai  Elsie Kipling.

 

 

REFERENSI:

Laitman, Rabbi Michael. The Hidden Wisdom of Kabbalah: With Ten Complete Kabbalah Lessons (Compiled by Benzion Giertz). Kabbalah Publishers. 2003.

Moore, Cornelius. The Craftsman, and Freemason’s Guide (Containing a Delineation of the Rituals of Freemasonry). Cincinnati: Jacob Ernst, 112 main street. 1854.

During (ed.), Simon. The Cultural Studies Reader. Second Edition. Routledge London and New York. 1999.

James, Alexander. The Hidden History of Money & New World Order Usury Secrets Revealed at Last, alexjamesnews2@gmail.com: v 6.62 June 25th, 2008.

Synnott, Anthony. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (terj. Yudi Santoso dari The Body Social: Symbolism, Self and Society). Yogyakarta: Jalasutra. 2003.

Garaudy, Roger. Zionis: Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik (terj. Moelia RS dari The Case of Israel: a Study Political Zionism). Bandung: Gema Insan Press. 1988.

http://www.wikipedia.co.id

HOMEPAGE

http://www.members.tripod.com/therev67/edfu_cpu/edfu-cpu.htm.

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/narasi_cyberspace.html

City Panopticon

http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/06/panopticon-sebagai-model-pendisiplinan.html

http://filsafatkita.f2g.net/mainsite.htm

Leave a comment