AKU, BENDA, DAN SEJARAH | VERSTEHN #5

Oleh: H. Syihabul Furqon

“KENAPA harus ada penyadaran sebelum disadarkan?”

Kutipan di atas adalah sebuah renungan beberapa hari yang lalu ketika pada saat itu Handphone saya eror. Sudah jadi lazim bahwa Hp saya selalu disibukan dengan multi-tasking. Ketika eror itu terjadi, tentu saya menggerutu atas kecengengan Hp yang mulai lemot itu. Hingga pada akhirnya saya menyimpannya dengan cara melempar—kesal.

Anehnya ketika itu dilakukan, saya merasa bersalah. Saya merenung dan merasa sedih. Kesedihan yang melanda saya bukan karena keerorannya, melainkan lebih pada nilai di balik materinya. Demikian yang saya rasakan. Bisakah kita bicakan hal itu?

BARANGKALI, kesedihan adalah peringatan. Dalam kasus saya, eror hp itu menyadarkan saya akan realitas benda-benda bahwa hp itu juga ada-bersama-saya, hp itu mendunia bersama saya. Tentu, saya rasa jika kemudian saya menghargainya, artinya sama bagi saya dengan menghargai sejarah hidup saya sendiri. Aspek historis benda itu, ternyata menjadi bagian yang ikut memberi nilai bagi ke-siapa-an saya. Saya merasa jadi tak baik karena telah menghakiminya hanya karena kelemotannya. Saya selalu berharap instrumen itu selalu siap melayani saya.

Ternyata saya tak memahami keberadaan benda. Atau apakah sikap itu adalah fakta bahwa saya tak menghargai sejarah diri saya sendiri?

Rasanya kita jarang menyadari bahwa ada yang bersinggungan erat dengan kita. Sebab, di saat-saat tertentu yang sering, kita menafikan keberadaan di luar kita. Artinya kita terlempar ke dunia sebagai personal yang saling asing, di mana yang-lain kerap jadi entitas yang senantiasa berkonfrontasi dengan diri kita.

Misalkan, betapa seringnya kita mengabaikan segala hal yang ada di dekat kita. Baik itu manusia apalagi benda, bahwa mereka juga ada di luar pikiran kita. Dan hal itu jugalah yang dipersoalkan Martin Heidegger. Ia memersoalkan ada, sejauh ada itu dipikirkan.

Kita (Manusia, dasein) sebagai pengada yang berfikir, terlempar ke dunia tempatnya berada. Pada mulanya ia merasakan asing dalam interaksinya dengan lingkungan, yang akhirnya ia menerima kehidupan itu dengan kepraktisannya. Tapi dengan begitu sebenarnya ia tengah melakukan identifikasi di dalam lingkungannya untuk menyadari bahwa ada sebuah ada-selain dirinya.

Anehnya ketersingkapan akan suatu kesadaran bahwa kita terlempar ke dunia sebagai ada, itu tidak secara langsung mengimplikasikan kesadaran bahwa kita ‘ada di dalam dunia’. Maksudnya adalah ketika kita terlahir, kita tidak menyadari secara ontologis bahwa hadir ada-yang-lain yang turut mengadakan kita. Barulah setelah kerusakan—atau bisa dibilang kesalahan—baik itu melalui sikap orang pada kita atau benda-benda di sekeliling kita, di sanalah kesadaran ontologis tersembul dengan sendirinya.

Contoh di dalam kehidupan sehari-hari, kita tanpa sadar dikelilingi oleh orang-orang yang bersinggungan dengan kita. Dengan kata lain kita ada karena orang lain juga hadir untuk mengadakan kita. Jadi di sana ada pegakuan eksternal untuk pengukuhan eksistensial. Begitu pun dengan benda-benda di sekitar kita yang membuat kita ada karenanya.

Seorang tukang bangunan, misalnya, ia takan menjadi tukang bangunan jika ia tidak dikelilingi oleh perabot yang menegaskan bahwa ia adalah tukang bangunan. Seperti martil, gergaji dan peralatan yang lainnya, itu semua membuat dia ada dengan nilai praktisnya. Karenanya kenapa banyak orang cenderung tak sadar akan hal ontologis ini di balik semua yang hadir dan melingkupinya.

Dalam Liar, di filmnya dikatakan begini, “Kematian mengajarkan kita bagaimana untuk menghargai hidup.” Dengan kematian orang-orang di sekeliling kita, lantas sambil bersedih menyadari bahwa orang itu sangat berharga bagi kita. Bukan seonggok mayatnya, namun menghargai nilai kemenyejarahannya yang telah menyingkap bahwa kita juga ada. Di sanalah kesadaran ontologis berada.

Begitu pun dengan benda yang menjadikan kita ada dan otentik dengan benda itu. Seperti tukang bangunan tadi, pertamanya tanpa sadar akan makna palu, baru kemudian setelah palu itu rusak ia menyadari akan nilai keberadaannya. Jostein Gaarder dalam Cecilia dan Malaikat Ariel berujar, “Bayangkan seandainya sebongkah batu tidak tahan memikirkan jati dirinya sebagai batu. Dia akan menjadi batu yang sangat merana karena harus hidup dengan rasa muak terhadap dirinya sendiri selama ribuan tahun, sebelum berangsur-angsur luruh menjadi kerikil dan pasir.”

DEMIKIANLAH, semua itu mengingatkan saya pada Hp eror, hingga saya menulis keresahan ini. Saya menjadi mengerti bahwa selain keeksisan kita di dunia, kita juga terlempar ke dunia bersama dengan orang juga benda yang menyertai hidup kita. Kita ada-dalam-dunia, yang berarti kita ada untuk bersama. Oleh karena itu, kita mestinya menghargai dan merawat dengan baik hubungan kita terhadap benda apalagi terhadap sesama. Tak baik jika kita meraih makna setelah seseorang maupun benda tersebut tiada sirna dari kita.

Ya, memang, kita kerap sadar setelah disadarkan. Tapi, akankah kita terus memilih menjadi manusia serata-rata itu?[]

Sumber:

Adian, Donni Gahral. Martin Heidegger. Bandung: Teraju. 2003.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2000.

Gaarder, Jostein. Cecilia dan Malaikat Ariel. Bandung: Mizan. 2004.

Intanya, Tesa. Liar. Jakarta: Gagas Media. 2008.

Leave a comment