MEMBAKAR CINTA, TERBAKAR CINTA | VERSTEHN #3

cover: Verstehn #3: LoveOleh: H. Syihabul Furqon

MALAM INI ini belum pungkas. Ini tepatnya di hari Sabtu 11 Desember 2010. Malam minggu di mana anak-anak muda untuk nongkrong bersama pasangan mereka. Ini malam cinta barangkali demikian, dan enak rasanya untuk mengobrol ihwal cinta. Mari kita meneropong kedalaman dan ketinggian cinta dalam sudut pandang tasawuf dan tentu dengan sudut pandang filsafat sebagai perbandingannya.

Kita mulai dengan pertanyaan ini: dalam kebercintaan perspektif apa cinta dirasakan?

Cinta dipandang dari proses epistemis falsafi bermula ketika kita melalui pencerapan indrawi akan suatu objek fisis. Selama membicarakan objek fisik, kita semua bebas menafsir kebercintaan ini menjadi apapun. Baik itu cinta yang berorientasikan sex: misalnya dengan asumsi hanya dengan cinta sex dapat terjadi. Ataupun suatu rasa yang mengantarkan kita menjadi sesuatu yang berkekuatan, termasuk cinta akan semesta, dan sebagainya.

Dengan demikian cinta yang berdasarkan pada pengalaman indrawi tentu meniscayakan keberbalasan. “Kamu buka siapa-siapa sampai kamu dicintai seseorang, kata Plato.” Tak heran cinta model ini kerap dihinggapi keegoisan. Kenapa? Sebab ketika cinta—seperti Erich Fromm bilang yakni orientasinya To Have yakni memiliki—maka tak jarang orang melakukan segala hal yang terbaik bahkan yang teburuk sekali pun. Orientasinya objek yang dicintai ditundukkan menjadi ini dan itu sebagai bentuk penguasaan demi pemilikan. Ujung-ujungnya eksploitasi membabi-buta, bukan pada kebaikan nilai cinta itu sendiri.

Beda sekali jika relasinya kemudian diubah menjadi To be: hasrat yang menggerakan kita (dengan bimbingan akal) untuk menjadi ‘sesuatu’ dengan cinta tersebut. Paling tidak ia menjadi sesuatu—minimal baik menurut umum—atau mengantarkannya pada kebijaksanaan. “Mencintai adalah karakter paling luhur dari manusia,” kata Soren Kierkegaard, “Secercah sifat Tuhan yang berada pada manusia adalah kemampuannya untuk mencintai dan berkorban demi cintanya.”

Cinta dapat pula ditujukan pada alam: hasrat akan kebersatuan dengan kekuatan kosmis seperti yang diajarkan dalam praktik meditasi Budhisme Zen. Pada fase ini pecinta tak melandasi cintanya untuk mengobjek namun kebergumulan bersama objek tersebut untuk melangsungkan hidup. Dalam pengertian lain, pergumulan ini telah memosisikan setiap hal menjadi subjek: Kita. “Where there is love, there is Life,” ungkap Mahatma Ghandi.

Setelah kita berbicara kebercintaan objek indrawi, mari kita bicara cinta yang lebih seru dan langka. Apa gerangan? Yakni cinta mistik sufistik.

Sufi adalah orang yang menggandrungi Tasawuf. Seperti Filosof yang menggumuli Filsafat. Itulah kiranya, namun dalam arti kata Sufi bisa dieja yang berarti Suci, Jernih, Bersih, Arif. Nah, di sini jika disinkron dengan arti kata Filosof yang berarti Cinta Bijak, Orang bijak [adalah orang yang tahu dan ingin tahu] sama dengan orang Arif. Karena Arif dalam artian di sini adalah pengandaian akan kebijaksanaan, kesucian jiwa dan dengan nisccaya ia adalah seorang yang dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Atau sufi adalah fase penyatuan antara Thumos dan Logisticon (Akal dan Hati) demikian barangkali gambaran singkatnya.

Memersoalkan cinta dalam perspektif tasawuf ada keanehan: pecinta mencintai tanpa objek empiris. Ia hanya mencintai pada cinta-transenden, yaitu Maha Cinta: Tuhan. Di fase ini seseorang melalui tingkatan yang sepenuhnya diliputi oleh ke-mahabbah-an. Artinya telah melampaui ke-makrifat-an, yaitu pengenalan akan Tuhan. “Cinta tanpa makrifat tidak mungkin terlaksana. Orang hanya dapat mencintai sesuatu yang dikenal,” kata Al-Ghazali.  Dalam Islam, semua ini adalah akibat kesalehan pribadi yang sangat merindukan kebersatuan dengan kekasih Ilahiyah. Semua itu dilakukan agar hidup dengan dan mati untuk-Nya atas nama cinta—bukan pada kesalehan personal yang menghamba (pasif).

Maka dapat dibayangkan seorang yang mabuk-Tuhan akan terlihat berbeda dengan kebanyakan orang, bahkan menimbulkan suatu keganjilan di lingkungannya. Sebab seorang yang sudah mahabbah, pola hidupnya akan mengimbangi kekasihnya. Ungkap keganjilan itu seperti pernyataan Al-Hallaj Ana’l Haqq (Akulah kebenaran Absolut) dan Ana’l Lah Syaikh Siti Jenar. Dan keduanya mati dalam keadaan dibunuh karena dianggap sesat dan meresahkan kaum penghamba-pasif.

Padahal, jika coba ditafsir makna Ana’l Haqq dan Ana’l Lah tadi ialah seperti ini: ketika seseorang telah mahabbah total pada Allah, ia telah menanggalkan sifat kebermakhlukan. Artinya yang ada hanyalah hasratnya untuk kebersatuan dengan kekasih. Bahkan Al-Hallaj berkata, “Cukuplah bagi si pecinta untuk menjadikan Yang Esa Tunggal, dan itulah tauhid sejati, yang sepenuhnya batiniyah dan dibayar dengan darah si pecinta.”

Anggapannya bahwa badan ragawi adalah suatu belenggu yang mengungkung jiwa bertemu dan bersatu dengan Tuhan: yang selalu meliputi kebertubuhan dan kejiwaannya. Ia ingin melebur dalam kebersatuan akan Yang Esa. Matanya tak membuat dia terkecoh, pikirannya fokus, indranya menajam, ia terserap oleh kekuatan cinta pada yang dicintainya.

Jadi, perspektif apa cinta yang sedang kita rasakan? []

RUJUKAN BACAAN:

A. Setyo Wibowo, Arête, Kanisius: Yogyakarta. 2010

Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus: Bandung. 2009

Dean Hamer, Gen Tuhan, Gramedia: Jakarta. 2006

Jostein Gardeer, Putri Cecilia dan Malaikat Ariel, Mizan: Bandung. 2009

Leave a comment